Saturday 26 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 3


Kalau kami ingin bepergian kesuatu tujuan, transportasi umumnya cumalah satu, sebuah mobil buatan jerman dengan merek opel yang akrab kami panggil dengan sebutan oplet. Dibagian belakang oplet ini, tempat para penumpang duduk, bagian dalamnya hampir semuanya terbuat dari kayu. Semua penumpangnya duduk saling berhadapan. Dioplet ini selalu ada seorang sopir dan seorang kernet. Kernet ini biasanya selalu ada di dipintu masuk mobil bagian belakang. Bergantungan sepanjang jalan dengan berteriak “ lincing lincing linciiiing … !!” maksudnya cilincing.

Jendela pada oplet ini bukanlah seperti sekarang yang berkaca dan bisa dibuka tutup hanya dengan menggesernya saja. Pada oplet dulu jendelanya hanya semata lubang yang ditutup dengan terpal. Jika cuaca cerah terpal itu digulung kemudian disangkutkan pada bagian atas jendela, jika sedang hujan maka terpal gulungan ini dilepas dari sangkutannya dan dibiarkan jatuh menutupi jendela menghindari air masuk dari luar.

Jika hujan turun mendadak maka biasanya pak kernet ini tergopoh-gopoh membantu para penumpang melepas gulungan terpal jendela, ini terutama jika penumpangnya ibu-ibu yang bisanya hanya berteriak-teriak saja takut kebasahan.

Yang namanya masa itu tak ada kata macet. Tidak pernah terbayangkan saat itu tanjung priok bakal seperti sekarang, macet dimana-mana !. Bepergian saat itu begitu menyenangkan. Jika siang hari memang udara sangat panas tapi hawanya segar karena memang tanpa polusi. Mobil yang melewati cilincing belumlah banyak. Kebanyakan hanya sepeda motor dan sepeda yang berlalu lalang, juga becak.

Ada beberapa hal yang membuat tanjung priok berbeda dengan daerah lain disekitar jakarta. Pertama cuma tanjung priok-lah daerah yang mempunyai tempat rekreasi alam, yaitu pantai. Tempat lain memang ada tempat rekreasinya tapi semuanya adalah buatan contohnya seperti taman mini dan ragunan misalnya.

Kalau saya sedang dalam pembicaraan dengan orang yang selisih usianya dengan saya diatas tiga puluh tahunan maka mereka akan mengenang satu tempat yang sangat kondang pada era tahun lima atau enam puluhan. Tempat orang-orang melepas kepenatan atas rutinitas yang dijalani sehari-hari, tempat dimana mereka selalu membawa sanak familinya berekreasi, apa lagi jika familinya itu berasal dari kampung diluar jakarta maka mereka akan bilang bahwa mereka belumlah disebut kejakarta jika belum mengunjungi tempat ini. Namanya pantai Sampur.

Ini adalah satu-satunya tempat rekreasi laut di jakarta dan sangat terkenal keindahannya. Beberapa malah menyebut pantai Sampur pada era itu, tak kalah indahnya dengan pantai kuta di bali. Berlebihan ? saya tidak tahu. Saya tidaklah pernah merasakan bahwa di Sampur ini ada pantainya. Yang namanya pantai kan mesti ada pasir dan banyak pohon kelapanya, sedangkan yang saya rasakan sejak kecil Sampur ini sudah dalam bentuk sebagai dermaga, sudah berbentuk cor-coran semen memanjang sepanjang bibir laut. Jadi dimata saya kehebatan pantai sampur adalah cuma kehebatan masa lampau yang saya tidak pernah mengalaminya.

Ada satu tempat lagi yang juga kondang dan identik dengan tanjung priok. Sama seperti sampur, tempat ini juga adalah tempat bagi orang orang yang pingin melepaskan diri dari kepenatan yang dijalaninya. Cuma bedanya tempat ini dikhususkan hanya bagi mereka yang sudah “mampu” menjalaninya saja. Namanya adalah Kramat Tunggak (KT). Yang ini adalah salah satu tempat “rekreasi” buatan di jakarta. Suatu pusat “rekreasi” yang dibuat oleh pak Ali Sadikin (gubernur jakarta waktu itu) sebagai wujud atas kepusingannya melihat begitu banyak tempat “rekreasi” yang tercecer di mana-mana dijakarta waktu itu.

Kenapa harus di tanjung priok? Karena tanjung priok pada masa itu masihlah menjadi daerah yang terpencil dari pemukiman sehingga diharapkan efek negatip terhadap lingkungan disekitar tidaklah besar. Juga karena tanjung priok yang karena adalah suatu daerah pelabuhan maka dibutuhkanlah tempat dimana orang bisa “berlabuh dan bersandar” dengan nyaman, nggak perlu cari yang pake nawar-nawar, tambah “pusing” nanti.

Itu sebabnya oleh pak gubernur dibangun suatu tempat dimana semuanya sudah “dibandrol” dan one stop shopping (he he.. ini lebih pada pendapat pribadi saja).

Pada masa saya kecil KT ini terkenal dengan dua nama untuk penyebutannya. Pertama kramtung, yang ini cuma disingkat saja supaya gampang menyebutnya, yang kedua orang-orang banyak menyebutnya pager seng. Kenapa pager seng karena memang KT ini satu kompleks itu dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari seng setinggi 3 meteran. Cuma ada satu atau dua pintu untuk keluar masuk pengunjungnya.

Seumur hidup saya cuma sekali saja saya pernah memasuki area pager seng ini. Saya masih duduk disekolah dasar (kalau tidak salah kelas lima) waktu itu. Siang-siang sepulang sekolah ada seorang teman mengajak saya untuk main ke pager seng. Teman saya ini sepertinya sudah sangat familiar dengan area itu. Jadi ketika kami sudah ada di dalam kompleks dengan bersepeda kami berkeliling sampai kelorong-lorong yang paling sempit melihat banyak hal yang sampai sekarang selalu saya kenang. Mungkin karena belum waktunya melihat yang begituan atau bagaimana, ketika saya sudah dirumah sampai beberapa hari saya selalu saja terbayang kejadian didalam pager seng itu. Maklumlah pada usia-usia segitu adalah awal saya mulai begitu gampang bergetar jika melihat sesuatu yang “harum-ranum”.


Lampung, April 2003

Tuesday 15 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 2


Di asrama polisi tempat saya tinggal ada sebuah bangunan yang orang-orang menyebutnya ruang mesin. Didalam situ terdapat sebuah generator yang dijalankan hanya pada malam hari. Generator itu mensuplai listrik khusus untuk asrama saya saja. Masing-masing rumah dijatah maksimal hanya boleh menggunakan beberapa lampu dengan watt yang sudah ditentukan. Barang elektronik pada masa itu masihlah sangat langka dan hanya orang-orang tertentu saya yang punya kemampuan membelinya. Barang elektronik seperti tv dan radio tidak diperkenankan menggunakan listrik yang disuplai oleh generator.

Jika ingin menyalakan tv minimal kita harus mempunyai aki sebagai sumber tenaganya. Pemakaian aki ini juga diusahakan se-efiesien mungkin dan haruslah sampai aki itu habis baru boleh diisi lagi, penghematan__kata bapak saya. Sudah bukan hal yang aneh jika kami sedang nonton tv gambar di layar sampai begitu kecil, sampai begitu kecilnya kami harus maju dan berjarak kurang dari satu meter dari layar supaya bisa melihat gambarnya dengan agak jelas karena akinya sudah mau habis. Pengisian lagi aki ini patokannya cuma satu yaitu ketika gambar di layar tv sudah sampai pada taraf tidak bisa ditonton lagi karena begitu kecilnya, jika sudah begitu barulah bapak saya bersedia membawanya ketempat pengisian aki untuk di cas lagi.

Bapak saya, karena profesinya yang polisi air dan udara, sering harus meninggalkan keluarga untuk berdinas dilaut, kami biasa menyebutnya berlayar.
Biasanya bapak saya kalau berlayar bisa sampai dua bulan tidak dirumah. Tergantung seberapa jauh area patroli yang harus dilakukan. Semakin jauh jaraknya semakin lama bapak saya harus berlayar.

Nah karena saya anak pertama dari dua bersaudara (waktu itu), apalagi saya anak lelaki, saya secara otomatis mesti menggantikan peran bapak saya selama beliau tidak ada dirumah. Bukan untuk menafkahi keluarga tapi lebih pada membantu dalam banyak aktifitas dirumah.

Usia saya waktu itu belumlah genap delapan tahun tapi yang namanya nyuci baju sendiri, ngangsu air dari sumur kekamar mandi untuk keperluan kami sekeluarga serta menyiapkan air diember kala ibu saya akan masak atau cuci-cuci didapur adalah hal yang sudah menjadi bagian dari keseharian saya.

Jika ibu saya ingin setrika baju maka sayalah yang bagian menyiapkan arang untuk dijadikan sumber panasnya. Setrikaan saat itu sangatlah berat karena terbuat dari besi cor tebal yang di bagian depannya biasanya ada patung ayam jago kecil sebagai tempat pegangan untuk penutup tempat arang. Orang yang bersetrika saat itu pastilah berkeringat karena hawa panas dari arang yang terbakar didalam setrikaan itu, belum lagi debu dari arang yang sudah habis. Pokoknya bersetrika saat itu haruslah menggunakan pakaian seminimal mungkin. Karena hawa panas ini beberapa tetangga saya lebih suka bersetrika diteras depan rumah. Jika kebetulan baju yang ingin disetrika cukup banyak pastilah ada saat jeda dimana arang yang sudah menjadi abu harus dibuang dan digantikan dengan arang yang baru.

Rumah yang ada di asrama polisi tempat saya tinggal dibagi-bagi menjadi blok-blok, sangat mirip dengan barak, yang dengan satu blok terdiri dari lima rumah berjejer saling berhimpitan dengan satu atap memanjang dari rumah pertama sampai rumah kelima. Kamar mandi dan dapur tidaklah menjadi satu dengan rumah. Sama dengan rumah yang berjejer lima berimpitan, kamar mandipun begitu, berjejer lima. Begitu pula dengan dapur. Masing-masing keluarga mendapat satu kamar mandi dan satu dapur.

Jadi kalau kami ingin mandi atau buang air kami haruslah keluar rumah melewati para tetangga kami untuk sampai kekamar mandi.

Begitu pula jika ibu saya ingin beraktifitas didapur. Kami juga harus keluar rumah untuk sampai dapur. Yang saya sebut dapur ini adalah sebuah ruang kecil ukuran 1.5 x 2 meter dibatasi oleh tembok, berjejer dan berimpitan satu dapur dengan yang lain. Akibatnya masing-masing keluarga akan tahu menu apa yang sedang dimasak oleh tetangga sebelahnya.

Rumah saya berada di nomor dua dari ujung. Kalau hendak kedapur kami harus melewati satu rumah tetangga kami. sementara jika ingin kekamar mandi kami harus melewati tiga rumah tetangga kami. Sumur lokasinya berada persis didepan deretan lima kamar mandi yang berjejer itu. Jika ibu saya sedang beraktifitas didapur dan perlu air untuk cuci-cuci maka saya bertugas untuk membawakan air menggunakan ember dari sumur di lokasi kamar mandi ke dapur yang berjarak kira-kira lima belas sampai dua puluhan meter.

Karena keterbatasan jumlah ember yang kami miliki, oleh ibu, saya tidak diperbolehkan pergi bermain. Saya haruslah memastikan bahwa air yang saya sediakan didalam ember cukup untuk keperluan didapur itu, jika sudah habis atau perlu diganti dengan yang baru maka dengan ember yang sama saya harus kembali kesumur mengisinya lagi untuk kemudian saya antarkan kedapur lagi. Setelah ibu saya bilang cukup barulah saya diperbolehkan pergi bermain.

Itulah sebabnya sedari kecil meskipun badan saya kurus tapi karena sudah terbiasa bekerja seluruh bagian tubuh saya termasuk cukup berotot dan jika harus adu panco dengan teman-teman saya meskipun dia lebih besar dan lebih berat saya termasuk kategori menangan.

Kelak setelah saya besar begini saya bersyukur pernah mengalami hal yang seperti itu. Kenapa saya bersyukur, karena beberapa teman wanita yang pernah dekat dengan saya mengatakan saya masuk kategori seksi. Kenapa kok seksi, ya karena berotot itu tadi.

Silahkan baca lanjutannya ..

Lampung, April 2003

Sunday 6 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 1


Pada masa tahun tujuh puluhan tanjung priok adalah suatu daerah yang bagi sebagian orang mendengarnya saja bisa membangkitkan bulu kuduk. Banyak cerita-cerita seram yang beredar. Biasalah daerah pelabuhan dimana-mana, apalagi pada masa itu, selalu ada legenda-legenda tentang para preman-preman yang menguasai suatu lokasi. Judi, pelacuran, orang yang mabuk, bisnis barang selundupan adalah cerita keseharian yang banyak saya dengar waktu itu.

Bapak saya yang seorang polisi kebetulan dapat jatah untuk bisa menempati sebuah rumah dinas disalah satu asrama polisi di daerang cilincing, salah satu kecamatan yang ada di kota madya Jakarta utara. Kami mulai tinggal disana sejak saya berusia sekitar 1.5 tahun.

Asrama polisi tempat saya tinggal saling berhimpitan dengan asrama angkatan laut. Ada dua asrama angkatan laut yang dekat dengan asrama saya. Penyebutannya pun berbeda. Satu disebut asrama dewa kembar yang satunya lagi asrama dewa ruci. Sampai sekarang saya tidaklah tahu apa yang membedakan dari keduanya. Sama-sama angkatan lautnya tapi bisa berbeda nama. Antara kedua asrama angkatan laut tersebut hanya dibatasi oleh jalan raya.

Tidak jauh dari tempat asrama saya ada lagi sebuah asrama yang juga sebuah asrama polisi. Bedanya dengan asrama saya yang adalah asrama yang dikhususkan untuk para polisi air dan udara (Pol-Airud), asrama polisi tetangga saya ini adalah asrama yang dikhususkan untuk para polisi brigade mobil, kami biasa menyebutnya asrama brimob. Sedangkan tempat saya populer dipanggil asrama airud.

Yang namanya polisi atau angkatan pada masa itu sangatlah disegani. Jika sedang ada suatu urusan tinggal sebut saya polisi atau dari angkatan anu, maka sudah dipastikan jika lawannya orang sipil mereka akan mengkeret nyalinya dan punya kecenderungan untuk tidak memperpanjang urusan.

Ada panggilan baku untuk para polisi dan angkatan ini, mereka sering menyebut dirinya “anggota”. Bangga benar mereka dengan penyebutan anggota ini. Jika sedang ada masalah atau urusan maka kata-kata anggota akan banyak disebut untuk memperlancar urusan, apapun urusannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa masing-masing anggota ini sangat fanatik dengan angkatan atau asramanya masing-masing. Dari yang sudah pensiun sampai dengan para anak anggota ini sangatlah bangga dengan almamaternya ini. Tapi seringnya kebanggaan ini di wujudkan dalam bentuk yang terkadang berlebihan. Ujung-ujungnya sering terjadi tawuran antar asrama anggota ini.

Hanya kerena masalah sepele saja lalu meletus tawuran. Kalau yang tawur ini para remaja sih agak dimaklumi, namanya juga anak muda, tapi yang seperti ini tidaklah mengenal usia. Bapak dan anak bisa maju bersama menyerbu asrama tetangganya. Saya bahkan pernah melihat tetangga saya yang sudah pensiun dan punya beberapa cucu ikut bergerombol dan dengan kadar emosi yang tinggi membakar semangat sekelompok remaja untuk menyerang musuh-musuhnya !! bukan main ………..

Pada masa itu tanjung priok masih begitu sepi. Kiri kanan sepanjang jalan raya cilincing masih banyak ditemui rawa dan kebon. Masih banyak juga pohon kelapa yang menjadi ciri khas daerah pantai. Sampai menjelang tahun 1978 yang namanya listrik masih menjadi suatu hal yang tidak semua orang bisa dapatkan. Hanya kawasan tertentu dengan strata sosial tertentu saja yang bisa memilikinya. Jadi kalau malam daerah sekitar saya tinggal kebanyakan sangatlah gelap. Makanya banyak orang, terutama yang tinggal diluar cilincing, sebisa mungkin menghindari bepergian ke cilincing pada malam hari. Selain gelap, banyak rawa dan kebon __ juga, ini yang paling membuat gentar orang datang kecilincing malam hari, adalah legenda-legenda preman yang konon berwajah seram, sadis dan tidak kenal kompromi.

Ada suatu pasar, lokasinya berada dibelakang sebuah pasar juga dan sangat dekat dengan pelabuhan, namanya pasar Ular. Tempat ini saat itu begitu kondang dengan transaksi barang-barang selundupan. Barang-barang yang ditransaksikan disitu (biasanya) sudah pasti berkualitas tinggi dengan merek-merek luar negeri yang terkenal. Mau cari apa saja pasti ada dan kalau sudah tahu atau sudah punya kenalan disitu harga yang didapat bisa sangat miring.

Masih teringat oleh saya ketika sepupu saya, usianya sekitar dua puluh tahunan waktu itu, dengan sangat bangga memamerkan pada keluarga saya sebuah sepatu kulit asli yang bermerek luar negri. Sepatu itu dia dapat (beli) dari seorang kenalannya dipasar ular yang kata kenalannya itu didapat dari seorang pelaut bule yang kebetulan kapalnya sedang sandar di tanjung priok. Malah, tambahnya, sepatu model begini belum ada di Indonesia. Sampe gempor nyarinya nggak bakalan nemu ! katanya berapi-api.

Silahkan baca lanjutannya ..

­­­­­­Lampung, April 2003

Sunday 23 March 2003

Berbelanja dipasar tradisional

Menemani istri belanja buat saya adalah pengalaman yang mengasyikan.
Entah kenapa jika sedang berada dalam pembicaraan antar suami beberapa rekan bicara saya mengeluhkan saat-saat ketika menemani istri mereka belanja apalagi ketika harus blusak-blusuk kepasar tradisional yang (sudah pasti) jika musim hujan becek dimana-mana. Mereka lebih suka menunggu ditempat parkir ketimbang sandal mereka belepotan.

Buat saya selalu ada sensasi baru jika berada pasar. Saya senang melihat mbok-mbok yang kelahiran Lampung dan seumur-umur tidak pernah ketanah Jawa namun bahasa Jawanya jauh lebih halus dari istri saya (sekalipun) yang berasal dari jawa timur. Kebanyakan dari mereka sejarahnya adalah berawal dari kakek atau buyut mereka yang dibawa oleh belanda dari jawa ke sumatra sebagai kuli kontrak. Di lampung mereka beranak pinak dengan tetap menggunakan bahasa asli leluhurnya sebagai bahasa dikeseharian mereka sampai saat ini.

Setiap minggu kami kepasar untuk berbelanja kebutuhan dapur yang tidak bisa dipenuhi oleh pedagang sayur keliling yang lewat setiap hari didepan rumah. Saya, yang karena besar didaerah pantai jadinya sangat suka dengan menu ikan-ikanan. Itu juga salah satu alasan kenapa kami setiap minggu belanja kepasar karena memang selain banyak pilihan, juga ikan yang ada dipasar kadang jauh lebih segar ketimbang beli dari tukang sayur yang lewat.

Biasanya saat di pasar kami berbagi tugas. Istri saya bagian belanja sementara saya mengajak jalan-jalan anak saya, Tasya, masih disekitar pasar. Anak saya kebetulan juga sangat senang masuk-masuk kedalam pasar. Sering-sering malah dia tidak mau digendong, alhasil jadilah dia sering tersenggol oleh para ibu atau kuli angkut pasar karena memang digang yang sempit itu dengan begitu banyak orang anak saya jadi tidak terlihat sehingga ya itu tadi tersenggol-senggol tidak keruan.

Sambil menggendong Tasya saya punya kesempatan mengajari dia banyak hal. Mulai dari nama buah, sayuran, ikan sampai (ini termasuk favoritnya) kesenangannya memberi uang pada pengemis. Para pedagang juga senang melihat anak saya ini, kadang pertanyaan-pertanyaan spontan anak saya justru mereka yang menjawab. Beberapa dari mereka malah sudah hapal dengan anak saya karena memang kami setiap minggu ada dipasar yang sama. Saya juga senang memperhatikan tingkah laku ibu-ibu dalam hal menawar. Ada yang sangat pelit ada juga yang agak gampang sepakat dengan penjual. Nah istri saya dalam hal ini adalah termasuk Itype yang kedua.

Istri saya paling malas dalam hal tawar menawar. Bagi dia sepanjang harganya masih rasional ya sudah bayar saja. Kadang kami suka beda pendapat tentang kenapa harus begitu gampang keluar uang. Ibu saya termasuk orang yang paling hebat dalam hal tawar menawar. Kalau perlu nggak usah dibeli itu barang kalau beliau menganggap terlalu mahal meskipun barang itu kita perlu sekali. Toh masih banyak yang jual, biar capek sedikit yang penting harga cocok, begitu pikirnya. Kaki saya sampai pegal kalau menemani ibu saya kepasar. Tapi setelah dewasa begini saya jadi sadar bahwa suka tidak suka karakter tersebut menurun pada saya. Saya jadi begitu struggling kalau sudah menawar barang. Yah seperti ibu saya tadi, kalau perlu pindah pasar sampai harga cocok.

Jika sedang ada di pasar tradisional dan memang kami sudah berencana belanja sesuatu yang kami perkirakan nilainya agak besar maka kesepakatannya adalah sayalah yang akan maju untuk menawar barang tersebut. Biasanya sih akhirnya saya bisa dapat dengan harga yang bagus menurut saya.

Makanya saya lebih suka pisah dengan istri jika dipasar. Biarlah dia belanja dengan caranya sendiri dan saya bersama anak saya sama-sama menikmati suasana pasar tradisional ini.


Lampung, Maret 2003

Sunday 2 March 2003

Belajar mengalah untuk kemudian menang


Semalam anak saya agak demam. Suhu badannya tinggi disertai dengan batuk dan pilek. Dua penyakit terakhir sebetulnya sudah ada tanda-tandanya sejak tiga hari yang lalu, tapi karena munculnya hanya kadang-kadang maka saya anggap belum perlu untuk memeriksakannya ke dokter.

Walaupun amat jarang kedokter, kami di Lampung ini sudah punya dokter anak langganan yang biasanya anak saya, Tasya, cocok dengan dokter ini. Namanya dokter Yusnita. Usianya sekitar empat puluhan. Masih terlihat cantik dan ramah sekali terhadap pasien.

Terakhir kami kedokter Yusnita ketika Tasya kakinya terkena pecahan keramik. Bagian bawah telapak kakinya sobek sekitar 3mm dengan luka agak dalam. Lagi-lagi dokter Yusnita yang menjadi rujukan kami. Sebetulnya saya agak enggan berangkat untuk memeriksakan kaki anak saya karena menurut saya itu cuma kejadian biasa, namanya juga anak kecil, tapi istri saya yang berkeras untuk pergi kedokter karena dia lihat saat kejadian begitu banyak darah yang keluar dari kaki anak saya.

Dokter Yusnita hanya tersenyum dan bilang tidak usah khawatir, cuma luka kecil. Nah bener kan gua bilang juga apa, kata saya ke istri saya. Istri saya kemudian meraba pipi saya dan berkata, ketenangan itu mahal Pa.. perasaan seorang ibu kan lain dengan perasaan bapak ….

Istri saya bukan type orang yang suka memaksakan kehendak. Dalam banyak hal dia punya kecenderungan untuk tidak ‘ngeyel’. Mengalah bagi dia bukanlah hal yang tabu. Terkadang dia malah lebih senang menyenangkan orang lain meskipun harus mengorbankan kesenangannya sendiri, toh nanti Tuhan juga yang balas, katanya.

Sebelum menikah kami berpacaran selama lima tahun lebih. Secara fisik mungkin istri saya bukanlah yang terbaik dibanding banyak perempuan yang pernah ada dalam kehidupan saya.
Ada yang betisnya lebih indah, ada yang kulitnya lebih mulus, ada yang bodi serta perawakannya lebih menantang, yang membuat darah muda saya gampang sekali bergolak-golak.
Tapi kemudian, apa yang saya sudah putuskan empat tahun lalu ketika saya ingin memulai berkeluarga selalu saya syukuri sampai hari ini.

Ketika menikah kami tidak lansung tinggal bersama karena istri saya harus menyelesaikan studi S1 nya yang tinggal sedikit lagi. Baru ketika kandungan istri saya sudah menginjak bulan keenam (saya menikah desember, januari istri saya hamil) kami bisa tinggal bersama.

Sejak hari pertama kami tinggal bersama saya melihat banyak pesona didalam istri saya yang selama kami pacaran luput dari mata saya. Dia begitu mudah mendapatkan teman, sepertinya orang merasa sangat nyaman jika berbicara dengan istri saya. Menyimak dan sangat berempati terhadap lawan bicaranya. Saya katakan istri saya ini lintas karakter. Bagaimanapun sulitnya seseorang jika sudah dengan istri saya mereka bisa begitu akrab.

Dalam hal logika dan pengetahuan umum rasanya saya lebih banyak punya jawaban, tapi jika menyangkut berempati terhadap seseorang terus terang saya belajar banyak dari istri saya ini. Belajar bagaimana bertutur, mendengar dan merespon lawan bicara. Banyak orang yang pandai dalam banyak hal sehingga punya kemampuan untuk mendominasi pembicaraan, tapi ketika harus mendengar dan merespon dengan baik lawan bicaranya ini yang jarang-jarang saya temui.

Pada saat-saat saya mengucapkan syukur pada Sang Pencipta, saya katakan pada Tuhan saya bahwa saya begitu bersyukur mempunyai istri seperti ini. Saya seperti diberi seorang guru yang mengajarkan pada saya bagaimana berempati terhadap orang lain. Dan lagi-lagi saya bersyukur bahwa anak saya pun sepertinya akan seperti ibunya, mudah mendapatkan teman.

Sebesar-besarnya manusia adalah yang mempunyai banyak teman dan berguna bagi lingkungannya, karena itulah sebenarnya esensi manusia sebagai makhluk sosial.


Bandar Lampung, Maret 2003

Thursday 20 February 2003

Sekolah Jerman, bagian 5, selesai


Akhirnya hari yang di tunggu-tunggu datang juga. Pengumuman test masuk sekolah Jerman. Seperti yang saya dan semua orang terdekat saya harapkan, saya dan teman SMP saya akhirnya bisa menjadi siswa sekolah Jerman.

Kata-kata pak satpam yang pernah saya dengar terbukti benar. Kami berdua puluh disebutkan namanya pada papan pengumuman. Senangnya bukan main. Tidak mengapa buat saya meski yang diterima seluruhnya lelaki. Toh kalaupun saya tetap di STM pun saya tak punya banyak pilihan untuk melihat salah satu kebesaran Tuhan itu. Beberapa hari kemudian saya lansung mengurus surat pengunduran diri saya dari STM. Ternyata bersamaan dengan saya ada seorang siswa dari STM, sama-sama dari elektro, yang juga mengundurkan diri dengan alasan yang sama, sama-sama akan menjadi siswa sekolah Jerman. Jadi sepertinya sudah digariskan dari Atas ada dua dari SMP dan dua dari STM, sekolah yang pernah saya tempati, tembus ke sekolah Jerman.

Ibu saya lansung masak-masak agak besar lalu makanan yang sudah matang itu diantarkan ke para tetangga dekat oleh ibu saya sendiri.

“ Selametannya Wahyu “ kata ibu saya. Setelah makanan berpindah piring para tetangga lalu bertanya macam-macam tentang ‘ selametannya wahyu ‘ ini. Dari syarat-syaratnya sampai materi testnya ditanyakan. Ibu saya, yang memang selalu saya up-date selama proses test masuk jadi sangat lancar menjawab semua pertanyaan yang diajukan para tetangga saya.

Kakek saya dikampung pun tidak lepas dari kegembiraan ini. Begitu tahu (setelah disurati oleh ibu saya) berita itu, beliau lansung saja membuat surat yang lansung dialamatkan kepada saya (sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya). Isinya adalah ucapan selamat dan bangga mempunyai cucu seperti saya.

Seperti tak mau kalah nenek saya, seperti ibu saya, masak agak besar lalu di edarkan ketetangga dekat dan handai taulan.

Setelah itu hari-hari saya diisi oleh rasa percaya diri yang begitu besar. Teman-teman disekitar lingkungan saya memandang saya dengan perasaan kagum. Buat mereka saya adalah sosok pelajar yang mumpuni. Ber-otak encer dan layak menjadi panutan. Berita yang tersebar saat itu adalah “ Wahyu dapet bea siswa sekolah Jerman “. Lalu sambil dibumbuhi “ nanti kalo lulus trus nilainya bagus bisa ngelanjutin ke Jerman “. Beberapa orang malah bertanya apa gurunya orang bule !?

Jujur saja saya memang senang. Tapi lebih jujur lagi adalah saya risi dengan pandangan-pandangan seperti itu. Saya hanyalah seorang yang biasa yang kebetulan beruntung diberi kesempatan ikut test masuk. Saya yakin ada ratusan orang seusia saya disekitar saya yang lebih pandai dari saya, puluhan dari mereka mungkin saja ikut test masuk, tapi toh mungkin mereka, seperti pak Dharma katakan, tidak mempunyai bakat teknik.

Sekolah Jerman , gratis, test masuknya susah, saingannya banyak, dapet uang saku, sekolahnya kayak kerja, dapet seragam sama sepatu, dapet makan siang - enak lagi, kalo lulus pasti kerja …………………..!!!!


Kau tahu tidak mudah menjadi begini
Segala petir dan raungan macan pernah kudengar
Telah kutulis dengan keringatku
Mimpi-mimpi yang tak terbayang
Menangispun aku mau jika itu maunya takdir

Menjadi sesuatu di semak yang belukar alangkah membanggakan
Seperti sungai yang berkelok-kelok
Gelombang yang banyakpun akan bermuara
Berebutan mencapai pantai setelah itu sendiri-sendiri

Mimpi hari ini bukanlah yang kemarin atau yang besok
Karna hidup akan selalu menghasilkan cita-cita
Jadi haruskah menyerah hanya karna merasa Tuhan tak sayang ?

Lampung, February 2003

Sunday 16 February 2003

Sekolah Jerman, bagian 4


Test kesehatan pertama dilakukan dirumah sakit Pelni. Pemeriksaan meliputi darah, air seni, kotoran THT, mata dan rontgen. Saya pergi sendiri karena kebetulan hari test kesehatannya tidak sama dengan teman SMP saya. Dari sekian tahapan test masuk ini kali pertama saya pergi tanpa seorang teman.

Oleh seorang suster darah saya diambil juga air seni dan kotoran saya. Suster saya ini usianya sekitar dua puluhan. Orangnya cantik dengan mata agak sedikit genit. Kulitnya agak coklat, berambut lurus. Saat bicara, dari celah bibirnya yang indah, terlihat deretan giginya yang tampak terawat, putih dan rapi. Bicaranya jelas, kata-katanya teratur. Melihat postur tubuhnya dengan berat-tinggi yang seimbang terus terang saja saya jadi membayangkan yang tidak-tidak.

Selama “menangani” saya suster ini banyak bertanya tentang sekolah Jerman ini, syarat-syaratnya apa dan yang ditest apa saja. Dari pertanyaan-pertanyaan-nya saya bisa rasakan suster ini lebih banyak berbasa-basi, saya yakin dia hanya ingin mengkonfrontir cerita yang dia sudah dapat dari para pesaing saya yang sudah test sebelumnya. Tapi mungkin saja dia memang senang bicara dengan saya karena barangkali diapun menilai saya sama baiknya seperti saya menilai dia, mungkin iya mungkin tidak.

Test berikutnya dilakukan di klinik perusahaan. Seorang dokter dan asistennya sudah menunggu kami didalam ruangan. Kami berlima dipersilahkan masuk ruangan kemudian bergerombol kami ditempatkan diposisi yang telah disediakan disudut ruangan.

Masing-masing kami dipanggil satu per satu untuk di mulai pemeriksaan. Empat orang yang belum terpanggil tetap berada di sudut ruang yang dibatasi oleh tirai. Jadi apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya kami berempat tidak tahu.

Selama menunggu giliran kami berusaha saling mengenal satu sama lain. Mulai dari nama, sekolah, tempat tinggal sampai akhirnya kami menyebut jumlah NEM masing-masing. Terkejutlah saya menyadari bahwa NEM saya ternyata masuk kategori papan bawah. Dengan yang terbaik saat itu selisihnya 9 poin. Gila …nih, macan semua ! pikir saya. Terbaik disekolah saya saja tidak sampai segitu.

Saya coba tenangkan diri saya, berusaha agar berita itu tidak membebani saya. Toh saya sudah sampai disini, peringkat test saya nomor sepuluh. Dan mudah-mudahan kata-kata pak satpam kemarin tentang peringkat satu sampai dua puluh pasti lolos sepanjang dia sehat itu benar, saya menghibur diri.

Teringat oleh saya pesan Nenek saya “ kalau kamu pingin jadi priyayi bergaul-lah dilingkungan dimana banyak priyayi “ (padahal mbah saya ini bukan priyayi, suatu saat saya akan cerita bagaimana kagumnya saya terhadap beliau ini) yang saya artikan kalau pingin pintar bergaulah dengan orang pintar. Semoga saja saya bisa kecipratan kepintaran mereka, semoga ……

Giliran nama saya dipanggil segera saja saya berdiri kemudian duduk berhadapan dengan dokter dibatasi oleh sebuah meja. Seorang mantri, asisten dokter, terlihat menyiapkan dokumen-dokumen dan perlengkapan periksa.

Kalau hanya periksa denyut nadi dan tensi darah sudah berapa puluh kali dalam hidup saya melakukannya. Tapi yang satu ini baru pertama kali terjadi pada saya.

Pada saya dokter memerintahkan untuk melepaskan seluruh pakaian yang saya kenakan sampai tinggal celana dalam (CD) yang tersisa. Untungnya kok yaa saya saat itu memakai CD yang agak baik. Terbayang betapa malunya saya jika saat itu saya memakai CD yang biasa saya pakai di banyak keseharian saya. (wah buka rahasia nih …, kelak setelah menjadi siswa PKKTL saya tahu bahwa dalam hal itu saya tidaklah sediri).

Dengan tinggal CD yang melekat pada saya dokter menyuruh saya untuk naik ke tempat tidur. Saya diperintahkan untuk berposisi sujud, lalu sang dokter berjalan menuju arah belakang saya. Apa yang dilakukan oleh dokter saya tidak tahu. Saya hanya bisa memejamkan mata saya ketika terasa oleh saya sentuhan-sentuhan medis di lubang bagian paling bawah dari tubuh saya.

Apa yang ingin diketahui oleh dokter itu bukanlah urusan saya, urusan saya saat ini adalah membuktikan bahwa secara psychology saya sudah lolos begitu juga saya harap pada urusan jasmani saya.


Silahkan baca lanjutannya ..

Lampung, February 2003

Monday 10 February 2003

Sekolah Jerman, bagian 3


Kami masih saja asik dengan pembicaraan kami seputar menu dan segala kemungkinan yang ada jika saya dan teman saya lolos test kesehatan kelak ketika seorang satpam, kelihatannya satpam senior ditilik dari usianya, berjalan mendekat kearah kami.

Waktu itu disekitar pos sudah agak sepi. Beberapa dari para peserta test sudah pulang. Tadinya kami mengira pak satpam ini hendak menyuruh kami meninggalkan area pos karena toh yang lain juga sudah pada pulang. Nyatanya pak satpam ini mencari api untuk sebatang rokok yang sudah terselip dibibirnya. Lalu sambil mengebulkan asap rokoknya pak satpam ini bertanya siapa diantara kami yang namanya ada. Yang menjawab bukan saya, bukan pula teman saya yang bersama saya lolos, tapi teman-teman saya yang tidak lolos seperti berebut menunjuk kearah kami berdua.

Kemudian pak satpam itu berkata, “ biasanya sih dua puluh orang yang bakalan diambil ditentukan berdasarkan nomor urut yang ada “

Maksudnya pak ? tanya kami

“ ya itu, biasanya nomor satu sampai nomor dua puluh udah pasti lolos, yang lima sisanya sebetulnya cuma cadangan, jaga-jaga yang dua puluh ini ada yang nggak sehat “

Sruut … lansung saja jantung saya berdebar lebih cepat dari biasanya. Saya coba untuk menahan perasaan saya untuk tetap stabil, cool bahasa sakarang, meskipun perasaan untuk kembali melihat kepapan pengumuman amat besar. Saya coba tenangkan sikap saya, tetap pada posisi semula dan coba menyimak apa yang tengah diperbincangkan. Namun bincang-bincang itu sudah tidak menarik lagi buat saya. Yang ada adalah perasaan segera melihat urutan berapa nama saya.

Akhirnya tibalah kesempatan itu, saya bersama dengan teman saya berjalan menuju papan pengumuman. Terlihat oleh saya nama saya berada di urutan sepuluh. Reflek kedua telapak tangan saya mengusap wajah saya. Setelah itu tangan kiri saya turun namun yang kanan tertinggal menutupi mulut. Setengah tidak percaya dengan apa yang saya lihat dari balik telapak tangan kanan saya mulut saya berucap “ Alhamdulillah Tuhan “.

Teman saya juga masuk dua puluh besar. Lagi kami bersalaman satu sama lain. Kegembiraan bertambah, harapan semakin besar, meskipun apa yang kami dengar dari pak satpam tadi belum kami yakini betul kebenarannya.

Tak lamapun kami pamit pada pak satpam tadi, ingin rasanya saya segera sampai rumah, mengabarkan apa yang terjadi disini. Terbayang oleh saya wajah senang dan bangga orang tua saya bahwa anak sulungnya terus melaju kebabak berikutnya. Didalam bis kota bukan hanya saya dan teman saya saja yang senang, teman-teman saya yang tidak lolospun begitu bangga bahwa akhirnya ada juga yang bisa mewakili SMP saya tembus babak selanjutnya test masuk sekolah Jerman.

Kata-kata pak satpam tadi rasanya terus terngiang ditelinga saya. Sepanjang perjalanan pulang saya mencoba untuk mengingat-ingat medical record saya selama ini. Rasa-rasanya saya tidak pernah mengalami sakit yang berat-berat, dalam ataupun luar. Biasanya cuma berkisar batuk, pilek dan demam, pokoknya penyakitnya proletar lah yang biasanya malah sembuh lewat media “ kerokan “ ibu saya.

Sampai rumah saya kabarkan cerita baik ini ke orang rumah. Semua senang, semua berharap saya bisa tembus lagi kali ini. Kata-kata pak satpam tadi tidak saya ceritakan. Saya khawatir akan memberi harapan yang terlalu besar. Biarlah cerita itu saya simpan dulu sambil menunggu saat yang tepat untuk menceritakannya.

Namanya orang tua, saya tidak berdaya untuk melarang ketika mereka begitu antusias menceritakan keberhasilan saya ini. Tetangga dekat dan para saudara diberitahu sambil dengan embel-embel mohon doa restunya.

Saat-saat menunggu test kesehatan menjadi hari yang penuh dengan nasihat-nasihat. Bolak-balik saya diingatkan agar selalu menjaga kesehatan, jangan makan yang macam-macam.

" Nggak usah ngeluyur kemana-mana dulu, dirumah aja ! " kata ibu saya

Bapak saya malah lebih ekstrim lagi, saya di perintah untuk lari pagi setiap hari. Biar badan fit waktu test kesehatan nanti, begitu kata beliau.

Silahkan baca lanjutannya ...

Lampung, February 2003

Thursday 6 February 2003

Sekolah Jerman, bagian 2


Ada hal yang menarik selama test masuk berlansung. Pada sesi interval sebelum tets berikutnya masuk kedalam ruangan kami seorang lelaki agak tua, berkulit kuning, rambut potongan militer dan amat Jawa logat bicaranya.

Beliau mengatakan bahwa test ini bukan untuk mencari orang yang terpandai. “ Test ini mencari dari anda-anda semua yang mempunyai bakat teknik, Baaaakat…. , bukan kemampuan teknik ataupun teorinya, jadi kalau nanti anda tidak terpilih itu bukan karena anda tidak pandai atau kalah pandai dari teman anda yang lolos, tapi karena anda tidak berbakat dibidang teknik “ kata bapak itu yang kemudian saya kenal sebagai Pak Dharma, kepala sekolah PKKTL PT Siemens Indonesia. Sosok yang punya dedikasi tinggi untuk melahirkan generasi baru yang bisa menjawab kebutuhan industri dimasa datang.

Setelah test masuk saya dan teman-teman SMP saya saling berbagi pengalaman dan perasaan tentang test masuk yang dijalani kemarin. Macam-macam ungkapan yang keluar. Ada yang merasa sudah pasti tidak mungkin lolos ada juga yang ‘misuh-misuh’ tentang soal-soal test yang diluar dugaan.

Dari sekian ekspresi yang keluar ternyata ada yang menarik untuk disimak. Ketika topik pembicaraan masuk pada masalah makan siang semua peserta rumpi sepakat bahwa makanannya enak dan mewah. Teman-teman saya ini, termasuk saya, tidak pada hari yang sama ikut test-nya. Jadi masing-masing kami punya pengalaman dan kesan yang berbeda-beda. Ada yang dapat sate, rendang, gulai dan macam menu lainnya. Pembicaraan tentang menu ini jadi topik yang lebih menarik daripada test itu sendiri.

“gile, pasti gemuk deh gua kalo setiap hari makan kayak gitu” seorang teman berkomentar.

Karena sudah ‘kadung’ sambil menunggu pengumuman test masuk terpaksa sekolah juga saya di STM. Teori-teori saya dapatkan di ruang kelas sedang prakteknya kami lakukan di Balai Latihan Kerja (BLK) yang berlokasi di Pulo Gadung. Semua itu saya jalani dengan harapan saya bisa tembus test masuk PKKTL. Bukan karena sekolah Jerman-nya, seperti kata bapak saya, tapi lebih pada saya amat menyesal masuk STM.

Beberapa hari menjelang pengumuman test masuk saya dan teman-teman SMP saya janjian untuk pergi sama-sama melihat pengumuman. Maka pas begitu harinya berbondonglah kami menuju Pulomas. Waktu itu kami berangkat ber-enam. Sepanjang jalan kami tampak biasa saja, macam-macam yang kami bicarakan, topik pengumuman test cuma jadi bagian kecil cari pembicaraan kami. Kebanyakan dari kami memang tidak terlalu berharap bisa tembus.

“ kalo gua nggak lolos pasti sebelah gua juga nggak lolos, soalnya gua banyak ‘ngebet’ dari dia ” kata teman saya.

Pengumuman test masuk sederhana saja berupa kertas putih ukuran A4 di tempel di sebuah papan pengumuman yang terbuat dari triplex di sekitar pos satpam. Sebetulnya posisinya papan pengumumannya sudah cukup strategis, tapi berhubung yang ingin melihat cukup banyak jadinya masing-masing kami saling berebut posisi agar dapat sudut yang tepat untuk melihat.

Kertas putih ukuran A4 itu menyebutkan dua puluh lima nama yang lolos untuk seleksi tahap berikutnya. Dibagian bawah disebutkan bahwa nama-nama diatas agar dapat menjalani test kesehatan. Dari dua puluh nama itu hari test kesehatan-nya tidaklah sama.

Ndilalah kok nama saya ada di salah satu dari dua puluh lima nama itu. Ah yang bener, tanya dalam hati. Kemudian saya cocokan lagi dengan nomor urut test yang saya bawa dari rumah. Barangkali saja ada peserta test yang lain yang namanya sama dengan saya. Ternyata cocok……!!!

“ Alhamdulillah “ kali ini saya ucapkan tidak dalam hati lagi.

Juga bersama saya ada teman SMP saya yang lolos test masuk. Kemudian kami berjabatan tangan. Saling mengucapkan selamat dengan rasa senang yang tidak bisa ditutupi. Teman saya yang lain, yang tidak lolos memberi ucapan selamat pada saya dan teman saya ini. Setelah itu kami tidak lansung pulang. Kami ngobrol dulu lama di sekitar pos satpam. Topiknya apa lagi selain kemungkinan saya bakalan tambah gemuk lantaran menu makan siang yang enak-enak itu.

Silahkan baca lanjutannya ...

Lampung, February 2003

Tuesday 4 February 2003

Sekolah Jerman,bagian 1


Dari kecil saya tidak pernah membayangkan bahwa jalan hidup saya akan berkutat disekitar tekhnik. Kalau merunut dari sejarahnya mungkin bakat teknik saya berasal dari kakek dari bapak yang punya profesi sebagai tukang kayu. Seberapa ahli dan terkenalnya beliau saya tidak tahu karena bapak saya sendiri sudah sejak kecil tidak mengenal bapaknya (meninggal dunia).

Waktu kecil kalau saya ditanya mau jadi apa nantinya saya selalu bilang mau jadi insinyur. Kenapa insinyur saya tidak tahu. Mungkin karena lingkungan saya adalah kelas pekerja yang kebanyakan bekerja di dock kapal. Mereka kalau berangkat bekerja selalu lengkap dengan pakaian kerjanya yang khas, celana jeans, baju lengan panjang tebal (kebanyakan berwarna biru) juga tak ketinggalan safety shoes yang panjangnya sampai mendekati dengkul.

Cara mereka memakai safety shoes ini juga menarik. Celana jeans mereka yang cut bray, bagian bawahnya dimasukan kedalam safety shoes. Gagah sekali mereka buat anak kecil seperti saya. Orang-orang menyebut mereka dengan tukang mesin, nah anak kecil seperti saya lansung saja yang terpikir bahwa mesin adalah insinyur. Mereka kerjanya seperti apa sama sekali tidak terbayangkan oleh saya waktu itu.

Menjelang tamat SMP saya memutuskan untuk masuk STM saja. Sesuatu yang sangat saya sesali kemudian. Waktu itu saya hanya sekedar ikut-ikutan saja. Teman dekat saya pingin masuk STM jadi supaya bisa terus sama dia saya juga masuk STM. Kami mengambil jurusan elektro. Bergengsi, tempatnya orang pinter kami beralasan waktu itu.

Ndilalah kok teman saya ini nilainya jeblok sehingga tidak tembus sekolah Negri. Tingal saya-lah suka tidak suka harus menjalani apa yang sudah saya putuskan. Mau bilang orang tua untuk pindah sekolah rasanya nggak mungkin, bisa ‘habis’ saya nanti. Tidak bisa disalahkan memang karena mereka toh sudah keluar uang banyak untuk sekolah saya ini meskipun katanya sekolah Negri.

Bapak saya adalah polisi aktif golongan Bintara. Saat itu beliau bertugas di kantor kedutaan besar di Jakarta. Bahasa kerennya Sat-Pam-VIP (satuan pengaman orang penting). Biasanya rutin empat bulan sekali bapak saya dirotasi ke kedutaan yang berbeda. Kok ya pas menjelang PKKTL buka pendaftaran bapak saya sedang bertugas di kedutaan Jerman (barat). Jadi begitu bapak saya tahu ada lowngan begini lansung saja beliau minta saya untuk ikut test.

Saya manut saja. Toh saya juga sudah tidak semangat lagi untuk terus ke STM. Iseng-iseng aja ikut wong nggak bayar aja .. pikir saya. Semua persyaratan saya siapkan lalu saya antar ke Pulomas, kantor Siemens. Beberapa teman SMP saya ada juga yang ikut ndaftar. Sebagian dari mereka saya beri tahu sebagian lagi tahunya dari iklan di koran Kompas.

Dari sekitar 1300-an (data ini saya dapat setelah saya jadi siswa PKKTL) pendaftar diambil 350 orang yang berhak untuk mengikuti test tertulis. Belakangan saya tahu namanya psycho test. Tadinya saya pikir testnya akan seperti ujian ebtanas, yang melulu teori. Wah saya harus belajar lagi nih, kata saya. Orang tua saya juga berpikir tidak jauh dengan saya, ujung-ujungnya saya disuruh belajar lagi terutama yang terkait dengan ilmu-ilmu elektonika.

“kalau kamu bisa lolos bapak-ibu jadi rada enteng” kata ibu saya.

Bapak saya nambahin, “ini sekolah Jerman lho, gratis, dapet uang saku lagi, kalo lulus nanti pasti kerja”

Yang terjadi ternyata diluar dugaan. Testnya blas nggak ada teorinya. Yang ada cuma permainan logika dan kecepatan berpikir. Mungkin berangkat dari situ barangkali yang menyebabkan lulusan PKKT jadi pada cepet ‘nangkep’, ha ha ha .. emangnya kiper.

Selama test perasaan saya biasa saja. Tegang tidak santai juga tidak. Semua saya jalani apa adanya. Seperti dalam ujian-ujian di sekolah saya juga sempatkan untuk melirik pesaing-pesaing saya kiri-kanan. Terlihat oleh saya wajah-wajah multi ekspresi. Ada yang tegang, pasrah ada juga yang kelihatan begitu ‘nggetu’ mengisi lembar soal. Saya berpikir mereka ini pastilah para juara kelas dimasing-masih sekolah mereka. Mereka pasti terbebani oleh perasaan “ gue kan juara kelas, NEM gua gede, masak sih gue nggak lolos “.

Sedangkan saya yang yang seumur-umur karir sekolahan saya mentok juara tiga jadi Nothing to lose aja.

Silahkan baca lanjutannya ...

Lampung, February 2003