Sunday 23 March 2003

Berbelanja dipasar tradisional

Menemani istri belanja buat saya adalah pengalaman yang mengasyikan.
Entah kenapa jika sedang berada dalam pembicaraan antar suami beberapa rekan bicara saya mengeluhkan saat-saat ketika menemani istri mereka belanja apalagi ketika harus blusak-blusuk kepasar tradisional yang (sudah pasti) jika musim hujan becek dimana-mana. Mereka lebih suka menunggu ditempat parkir ketimbang sandal mereka belepotan.

Buat saya selalu ada sensasi baru jika berada pasar. Saya senang melihat mbok-mbok yang kelahiran Lampung dan seumur-umur tidak pernah ketanah Jawa namun bahasa Jawanya jauh lebih halus dari istri saya (sekalipun) yang berasal dari jawa timur. Kebanyakan dari mereka sejarahnya adalah berawal dari kakek atau buyut mereka yang dibawa oleh belanda dari jawa ke sumatra sebagai kuli kontrak. Di lampung mereka beranak pinak dengan tetap menggunakan bahasa asli leluhurnya sebagai bahasa dikeseharian mereka sampai saat ini.

Setiap minggu kami kepasar untuk berbelanja kebutuhan dapur yang tidak bisa dipenuhi oleh pedagang sayur keliling yang lewat setiap hari didepan rumah. Saya, yang karena besar didaerah pantai jadinya sangat suka dengan menu ikan-ikanan. Itu juga salah satu alasan kenapa kami setiap minggu belanja kepasar karena memang selain banyak pilihan, juga ikan yang ada dipasar kadang jauh lebih segar ketimbang beli dari tukang sayur yang lewat.

Biasanya saat di pasar kami berbagi tugas. Istri saya bagian belanja sementara saya mengajak jalan-jalan anak saya, Tasya, masih disekitar pasar. Anak saya kebetulan juga sangat senang masuk-masuk kedalam pasar. Sering-sering malah dia tidak mau digendong, alhasil jadilah dia sering tersenggol oleh para ibu atau kuli angkut pasar karena memang digang yang sempit itu dengan begitu banyak orang anak saya jadi tidak terlihat sehingga ya itu tadi tersenggol-senggol tidak keruan.

Sambil menggendong Tasya saya punya kesempatan mengajari dia banyak hal. Mulai dari nama buah, sayuran, ikan sampai (ini termasuk favoritnya) kesenangannya memberi uang pada pengemis. Para pedagang juga senang melihat anak saya ini, kadang pertanyaan-pertanyaan spontan anak saya justru mereka yang menjawab. Beberapa dari mereka malah sudah hapal dengan anak saya karena memang kami setiap minggu ada dipasar yang sama. Saya juga senang memperhatikan tingkah laku ibu-ibu dalam hal menawar. Ada yang sangat pelit ada juga yang agak gampang sepakat dengan penjual. Nah istri saya dalam hal ini adalah termasuk Itype yang kedua.

Istri saya paling malas dalam hal tawar menawar. Bagi dia sepanjang harganya masih rasional ya sudah bayar saja. Kadang kami suka beda pendapat tentang kenapa harus begitu gampang keluar uang. Ibu saya termasuk orang yang paling hebat dalam hal tawar menawar. Kalau perlu nggak usah dibeli itu barang kalau beliau menganggap terlalu mahal meskipun barang itu kita perlu sekali. Toh masih banyak yang jual, biar capek sedikit yang penting harga cocok, begitu pikirnya. Kaki saya sampai pegal kalau menemani ibu saya kepasar. Tapi setelah dewasa begini saya jadi sadar bahwa suka tidak suka karakter tersebut menurun pada saya. Saya jadi begitu struggling kalau sudah menawar barang. Yah seperti ibu saya tadi, kalau perlu pindah pasar sampai harga cocok.

Jika sedang ada di pasar tradisional dan memang kami sudah berencana belanja sesuatu yang kami perkirakan nilainya agak besar maka kesepakatannya adalah sayalah yang akan maju untuk menawar barang tersebut. Biasanya sih akhirnya saya bisa dapat dengan harga yang bagus menurut saya.

Makanya saya lebih suka pisah dengan istri jika dipasar. Biarlah dia belanja dengan caranya sendiri dan saya bersama anak saya sama-sama menikmati suasana pasar tradisional ini.


Lampung, Maret 2003

No comments:

Post a Comment