Saturday 1 July 2006

Struk gaji


Selama pendidikan di PKKTL, dalam keseharian, kami sering berbincang tentang apa jadinya kami nanti kelak. Beberapa yang kami anggap pandai dan masuk kategori “anak manis” sudahlah aman karena sepertinya jalur bekerja pada institusi almamater terbuka lebar. Pandai, rajin dan tidak neko-neko adalah modal berharga untuk mereka yang ada digolongan ini. Karpet merah untuk kesana sudahlah tergelar didepan mata.

Dan bagi yang merasa di kategori lainnya bolehlah berandai-andai, mau kemana setelah lulus. Kalau sedang bercengkrama kami sambil bergurau (ada juga kami serius) membayangkan keinginan-keinginan kami besok. Mau keperusahaan ini-itu, ada yang sudah di bookingkan oleh bapaknya ketempat beliau kerja, atau – ada yang ingin melanjutkan sekolah secara normal.

Dulu, saat masih ditahun kedua, membayangkan lulus atau tidak saja sudah menjadi beban dan pertanyaan besar.

Mendebarkan, saat kami maju satu persatu melihat lembar pengumuman kelulusan. Satu-satu dari dua puluh siswa, berdasarkan nomor urut, menuju papan pengumuman untuk melihat apakah bisa terus ke tahun ketiga ataukah harus meninggalkan kawah candradimuka ini dengan selembar surat pernyataan pernah mengikuti PKKTL. Uugghhh… benar-benar masa tegang kala itu.

Pertanyaan mendasar yang sering terungkap dan selalu menjadi topik yang menarik menjelang kelulusan kami adalah berapa gaji yang akan kami dapat kelak saat bekerja. Dan lagi-lagi kami berandai-andai dengan pertanyaan berapa sih standar gaji saat ini. Tebak-tebakan pun berlansung, seperti, berapa gaji Pak Dharma, kepala sekolah kami. Berapa gaji Pak Rompas, besar mana dengan gaji Pak Jhoni.

Ada bocoran, tepatnya tebakan juga, dari seorang pekerja senior di workshop yang bilang kalau Pak Ignatius, kepala workshop saat itu, sudah bergaji diatas empat ratus ribu rupiah !!!

Seberapa akurat tebak-tebakan kami ini, sampai sekarang pun kami tak pernah tahu kebenarannya.

Tapi yang membuat perbincangan tambah seru adalah tebak-tebakan siapa diantara kami yang akan paling sukses kelak. Ukurannya sudah bukan berapa kami dibayar setelah lulus nanti tapi sudah melompat jauh ke beberapa tahun kemudian.

Ada yang memakai ukuran lima tahun kedepan. Ada yang bilang kurang kalau segitu – sepuluh tahun barulah pantas mengukur kesuksesan seseorang, sebagian lagi bilang gimana kalo lima belas tahun. Oke, katakanlah sepuluh-lima belas tahun, lalu apa? Ngukurnya gimana?

Ya dari struk gaji lah, kata teman menyahuti. Ntar kalo pas kita reunian sepuluh atau lima belas tahun lagi kita lihat struk gajinya, kita kumpulin trus buka bareng-bareng, siapa yang paling gede itulah yang paling sukses, gampang kan? Kami tertawa, tak ada kesepakatan saat itu dan pembicaraanpun mengalir ke topik yang lain.

Hhmmm …….. Obrolan anak belasan tahun yang sedang mencari jati diri dan setelah enam belas tahun berlalu saya suka tersenyum sendiri kalau mengingat itu semua.

Reunian sepuluh-lima belas tahun lagi buat saya oke saja, tapi struk gaji? Ahh .. tak usahlah kita seriusi pembicaraan enam belas tahun yang lalu itu. Biarlah jadi cerita lucu yang layak dikenang sampai kapanpun. Juga, biarlah struk gaji ini jadi rahasia kita sendiri saja. Karna toh kesuksesan seseorang bukanlah semata pada angka di struk gaji.

Anda setuju dengan saya tidak ?


Bandar Lampung, Juli 2006