Tuesday 15 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 2


Di asrama polisi tempat saya tinggal ada sebuah bangunan yang orang-orang menyebutnya ruang mesin. Didalam situ terdapat sebuah generator yang dijalankan hanya pada malam hari. Generator itu mensuplai listrik khusus untuk asrama saya saja. Masing-masing rumah dijatah maksimal hanya boleh menggunakan beberapa lampu dengan watt yang sudah ditentukan. Barang elektronik pada masa itu masihlah sangat langka dan hanya orang-orang tertentu saya yang punya kemampuan membelinya. Barang elektronik seperti tv dan radio tidak diperkenankan menggunakan listrik yang disuplai oleh generator.

Jika ingin menyalakan tv minimal kita harus mempunyai aki sebagai sumber tenaganya. Pemakaian aki ini juga diusahakan se-efiesien mungkin dan haruslah sampai aki itu habis baru boleh diisi lagi, penghematan__kata bapak saya. Sudah bukan hal yang aneh jika kami sedang nonton tv gambar di layar sampai begitu kecil, sampai begitu kecilnya kami harus maju dan berjarak kurang dari satu meter dari layar supaya bisa melihat gambarnya dengan agak jelas karena akinya sudah mau habis. Pengisian lagi aki ini patokannya cuma satu yaitu ketika gambar di layar tv sudah sampai pada taraf tidak bisa ditonton lagi karena begitu kecilnya, jika sudah begitu barulah bapak saya bersedia membawanya ketempat pengisian aki untuk di cas lagi.

Bapak saya, karena profesinya yang polisi air dan udara, sering harus meninggalkan keluarga untuk berdinas dilaut, kami biasa menyebutnya berlayar.
Biasanya bapak saya kalau berlayar bisa sampai dua bulan tidak dirumah. Tergantung seberapa jauh area patroli yang harus dilakukan. Semakin jauh jaraknya semakin lama bapak saya harus berlayar.

Nah karena saya anak pertama dari dua bersaudara (waktu itu), apalagi saya anak lelaki, saya secara otomatis mesti menggantikan peran bapak saya selama beliau tidak ada dirumah. Bukan untuk menafkahi keluarga tapi lebih pada membantu dalam banyak aktifitas dirumah.

Usia saya waktu itu belumlah genap delapan tahun tapi yang namanya nyuci baju sendiri, ngangsu air dari sumur kekamar mandi untuk keperluan kami sekeluarga serta menyiapkan air diember kala ibu saya akan masak atau cuci-cuci didapur adalah hal yang sudah menjadi bagian dari keseharian saya.

Jika ibu saya ingin setrika baju maka sayalah yang bagian menyiapkan arang untuk dijadikan sumber panasnya. Setrikaan saat itu sangatlah berat karena terbuat dari besi cor tebal yang di bagian depannya biasanya ada patung ayam jago kecil sebagai tempat pegangan untuk penutup tempat arang. Orang yang bersetrika saat itu pastilah berkeringat karena hawa panas dari arang yang terbakar didalam setrikaan itu, belum lagi debu dari arang yang sudah habis. Pokoknya bersetrika saat itu haruslah menggunakan pakaian seminimal mungkin. Karena hawa panas ini beberapa tetangga saya lebih suka bersetrika diteras depan rumah. Jika kebetulan baju yang ingin disetrika cukup banyak pastilah ada saat jeda dimana arang yang sudah menjadi abu harus dibuang dan digantikan dengan arang yang baru.

Rumah yang ada di asrama polisi tempat saya tinggal dibagi-bagi menjadi blok-blok, sangat mirip dengan barak, yang dengan satu blok terdiri dari lima rumah berjejer saling berhimpitan dengan satu atap memanjang dari rumah pertama sampai rumah kelima. Kamar mandi dan dapur tidaklah menjadi satu dengan rumah. Sama dengan rumah yang berjejer lima berimpitan, kamar mandipun begitu, berjejer lima. Begitu pula dengan dapur. Masing-masing keluarga mendapat satu kamar mandi dan satu dapur.

Jadi kalau kami ingin mandi atau buang air kami haruslah keluar rumah melewati para tetangga kami untuk sampai kekamar mandi.

Begitu pula jika ibu saya ingin beraktifitas didapur. Kami juga harus keluar rumah untuk sampai dapur. Yang saya sebut dapur ini adalah sebuah ruang kecil ukuran 1.5 x 2 meter dibatasi oleh tembok, berjejer dan berimpitan satu dapur dengan yang lain. Akibatnya masing-masing keluarga akan tahu menu apa yang sedang dimasak oleh tetangga sebelahnya.

Rumah saya berada di nomor dua dari ujung. Kalau hendak kedapur kami harus melewati satu rumah tetangga kami. sementara jika ingin kekamar mandi kami harus melewati tiga rumah tetangga kami. Sumur lokasinya berada persis didepan deretan lima kamar mandi yang berjejer itu. Jika ibu saya sedang beraktifitas didapur dan perlu air untuk cuci-cuci maka saya bertugas untuk membawakan air menggunakan ember dari sumur di lokasi kamar mandi ke dapur yang berjarak kira-kira lima belas sampai dua puluhan meter.

Karena keterbatasan jumlah ember yang kami miliki, oleh ibu, saya tidak diperbolehkan pergi bermain. Saya haruslah memastikan bahwa air yang saya sediakan didalam ember cukup untuk keperluan didapur itu, jika sudah habis atau perlu diganti dengan yang baru maka dengan ember yang sama saya harus kembali kesumur mengisinya lagi untuk kemudian saya antarkan kedapur lagi. Setelah ibu saya bilang cukup barulah saya diperbolehkan pergi bermain.

Itulah sebabnya sedari kecil meskipun badan saya kurus tapi karena sudah terbiasa bekerja seluruh bagian tubuh saya termasuk cukup berotot dan jika harus adu panco dengan teman-teman saya meskipun dia lebih besar dan lebih berat saya termasuk kategori menangan.

Kelak setelah saya besar begini saya bersyukur pernah mengalami hal yang seperti itu. Kenapa saya bersyukur, karena beberapa teman wanita yang pernah dekat dengan saya mengatakan saya masuk kategori seksi. Kenapa kok seksi, ya karena berotot itu tadi.

Silahkan baca lanjutannya ..

Lampung, April 2003

No comments:

Post a Comment