Sunday 2 March 2003

Belajar mengalah untuk kemudian menang


Semalam anak saya agak demam. Suhu badannya tinggi disertai dengan batuk dan pilek. Dua penyakit terakhir sebetulnya sudah ada tanda-tandanya sejak tiga hari yang lalu, tapi karena munculnya hanya kadang-kadang maka saya anggap belum perlu untuk memeriksakannya ke dokter.

Walaupun amat jarang kedokter, kami di Lampung ini sudah punya dokter anak langganan yang biasanya anak saya, Tasya, cocok dengan dokter ini. Namanya dokter Yusnita. Usianya sekitar empat puluhan. Masih terlihat cantik dan ramah sekali terhadap pasien.

Terakhir kami kedokter Yusnita ketika Tasya kakinya terkena pecahan keramik. Bagian bawah telapak kakinya sobek sekitar 3mm dengan luka agak dalam. Lagi-lagi dokter Yusnita yang menjadi rujukan kami. Sebetulnya saya agak enggan berangkat untuk memeriksakan kaki anak saya karena menurut saya itu cuma kejadian biasa, namanya juga anak kecil, tapi istri saya yang berkeras untuk pergi kedokter karena dia lihat saat kejadian begitu banyak darah yang keluar dari kaki anak saya.

Dokter Yusnita hanya tersenyum dan bilang tidak usah khawatir, cuma luka kecil. Nah bener kan gua bilang juga apa, kata saya ke istri saya. Istri saya kemudian meraba pipi saya dan berkata, ketenangan itu mahal Pa.. perasaan seorang ibu kan lain dengan perasaan bapak ….

Istri saya bukan type orang yang suka memaksakan kehendak. Dalam banyak hal dia punya kecenderungan untuk tidak ‘ngeyel’. Mengalah bagi dia bukanlah hal yang tabu. Terkadang dia malah lebih senang menyenangkan orang lain meskipun harus mengorbankan kesenangannya sendiri, toh nanti Tuhan juga yang balas, katanya.

Sebelum menikah kami berpacaran selama lima tahun lebih. Secara fisik mungkin istri saya bukanlah yang terbaik dibanding banyak perempuan yang pernah ada dalam kehidupan saya.
Ada yang betisnya lebih indah, ada yang kulitnya lebih mulus, ada yang bodi serta perawakannya lebih menantang, yang membuat darah muda saya gampang sekali bergolak-golak.
Tapi kemudian, apa yang saya sudah putuskan empat tahun lalu ketika saya ingin memulai berkeluarga selalu saya syukuri sampai hari ini.

Ketika menikah kami tidak lansung tinggal bersama karena istri saya harus menyelesaikan studi S1 nya yang tinggal sedikit lagi. Baru ketika kandungan istri saya sudah menginjak bulan keenam (saya menikah desember, januari istri saya hamil) kami bisa tinggal bersama.

Sejak hari pertama kami tinggal bersama saya melihat banyak pesona didalam istri saya yang selama kami pacaran luput dari mata saya. Dia begitu mudah mendapatkan teman, sepertinya orang merasa sangat nyaman jika berbicara dengan istri saya. Menyimak dan sangat berempati terhadap lawan bicaranya. Saya katakan istri saya ini lintas karakter. Bagaimanapun sulitnya seseorang jika sudah dengan istri saya mereka bisa begitu akrab.

Dalam hal logika dan pengetahuan umum rasanya saya lebih banyak punya jawaban, tapi jika menyangkut berempati terhadap seseorang terus terang saya belajar banyak dari istri saya ini. Belajar bagaimana bertutur, mendengar dan merespon lawan bicara. Banyak orang yang pandai dalam banyak hal sehingga punya kemampuan untuk mendominasi pembicaraan, tapi ketika harus mendengar dan merespon dengan baik lawan bicaranya ini yang jarang-jarang saya temui.

Pada saat-saat saya mengucapkan syukur pada Sang Pencipta, saya katakan pada Tuhan saya bahwa saya begitu bersyukur mempunyai istri seperti ini. Saya seperti diberi seorang guru yang mengajarkan pada saya bagaimana berempati terhadap orang lain. Dan lagi-lagi saya bersyukur bahwa anak saya pun sepertinya akan seperti ibunya, mudah mendapatkan teman.

Sebesar-besarnya manusia adalah yang mempunyai banyak teman dan berguna bagi lingkungannya, karena itulah sebenarnya esensi manusia sebagai makhluk sosial.


Bandar Lampung, Maret 2003

No comments:

Post a Comment