Sunday 6 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 1


Pada masa tahun tujuh puluhan tanjung priok adalah suatu daerah yang bagi sebagian orang mendengarnya saja bisa membangkitkan bulu kuduk. Banyak cerita-cerita seram yang beredar. Biasalah daerah pelabuhan dimana-mana, apalagi pada masa itu, selalu ada legenda-legenda tentang para preman-preman yang menguasai suatu lokasi. Judi, pelacuran, orang yang mabuk, bisnis barang selundupan adalah cerita keseharian yang banyak saya dengar waktu itu.

Bapak saya yang seorang polisi kebetulan dapat jatah untuk bisa menempati sebuah rumah dinas disalah satu asrama polisi di daerang cilincing, salah satu kecamatan yang ada di kota madya Jakarta utara. Kami mulai tinggal disana sejak saya berusia sekitar 1.5 tahun.

Asrama polisi tempat saya tinggal saling berhimpitan dengan asrama angkatan laut. Ada dua asrama angkatan laut yang dekat dengan asrama saya. Penyebutannya pun berbeda. Satu disebut asrama dewa kembar yang satunya lagi asrama dewa ruci. Sampai sekarang saya tidaklah tahu apa yang membedakan dari keduanya. Sama-sama angkatan lautnya tapi bisa berbeda nama. Antara kedua asrama angkatan laut tersebut hanya dibatasi oleh jalan raya.

Tidak jauh dari tempat asrama saya ada lagi sebuah asrama yang juga sebuah asrama polisi. Bedanya dengan asrama saya yang adalah asrama yang dikhususkan untuk para polisi air dan udara (Pol-Airud), asrama polisi tetangga saya ini adalah asrama yang dikhususkan untuk para polisi brigade mobil, kami biasa menyebutnya asrama brimob. Sedangkan tempat saya populer dipanggil asrama airud.

Yang namanya polisi atau angkatan pada masa itu sangatlah disegani. Jika sedang ada suatu urusan tinggal sebut saya polisi atau dari angkatan anu, maka sudah dipastikan jika lawannya orang sipil mereka akan mengkeret nyalinya dan punya kecenderungan untuk tidak memperpanjang urusan.

Ada panggilan baku untuk para polisi dan angkatan ini, mereka sering menyebut dirinya “anggota”. Bangga benar mereka dengan penyebutan anggota ini. Jika sedang ada masalah atau urusan maka kata-kata anggota akan banyak disebut untuk memperlancar urusan, apapun urusannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa masing-masing anggota ini sangat fanatik dengan angkatan atau asramanya masing-masing. Dari yang sudah pensiun sampai dengan para anak anggota ini sangatlah bangga dengan almamaternya ini. Tapi seringnya kebanggaan ini di wujudkan dalam bentuk yang terkadang berlebihan. Ujung-ujungnya sering terjadi tawuran antar asrama anggota ini.

Hanya kerena masalah sepele saja lalu meletus tawuran. Kalau yang tawur ini para remaja sih agak dimaklumi, namanya juga anak muda, tapi yang seperti ini tidaklah mengenal usia. Bapak dan anak bisa maju bersama menyerbu asrama tetangganya. Saya bahkan pernah melihat tetangga saya yang sudah pensiun dan punya beberapa cucu ikut bergerombol dan dengan kadar emosi yang tinggi membakar semangat sekelompok remaja untuk menyerang musuh-musuhnya !! bukan main ………..

Pada masa itu tanjung priok masih begitu sepi. Kiri kanan sepanjang jalan raya cilincing masih banyak ditemui rawa dan kebon. Masih banyak juga pohon kelapa yang menjadi ciri khas daerah pantai. Sampai menjelang tahun 1978 yang namanya listrik masih menjadi suatu hal yang tidak semua orang bisa dapatkan. Hanya kawasan tertentu dengan strata sosial tertentu saja yang bisa memilikinya. Jadi kalau malam daerah sekitar saya tinggal kebanyakan sangatlah gelap. Makanya banyak orang, terutama yang tinggal diluar cilincing, sebisa mungkin menghindari bepergian ke cilincing pada malam hari. Selain gelap, banyak rawa dan kebon __ juga, ini yang paling membuat gentar orang datang kecilincing malam hari, adalah legenda-legenda preman yang konon berwajah seram, sadis dan tidak kenal kompromi.

Ada suatu pasar, lokasinya berada dibelakang sebuah pasar juga dan sangat dekat dengan pelabuhan, namanya pasar Ular. Tempat ini saat itu begitu kondang dengan transaksi barang-barang selundupan. Barang-barang yang ditransaksikan disitu (biasanya) sudah pasti berkualitas tinggi dengan merek-merek luar negeri yang terkenal. Mau cari apa saja pasti ada dan kalau sudah tahu atau sudah punya kenalan disitu harga yang didapat bisa sangat miring.

Masih teringat oleh saya ketika sepupu saya, usianya sekitar dua puluh tahunan waktu itu, dengan sangat bangga memamerkan pada keluarga saya sebuah sepatu kulit asli yang bermerek luar negri. Sepatu itu dia dapat (beli) dari seorang kenalannya dipasar ular yang kata kenalannya itu didapat dari seorang pelaut bule yang kebetulan kapalnya sedang sandar di tanjung priok. Malah, tambahnya, sepatu model begini belum ada di Indonesia. Sampe gempor nyarinya nggak bakalan nemu ! katanya berapi-api.

Silahkan baca lanjutannya ..

­­­­­­Lampung, April 2003

No comments:

Post a Comment