Sunday 1 November 2015

Mbah Reso

Hampir disetiap liburan kenaikan kelas sekolah dasar saya selalu berkunjung kerumah mbah di Purworejo Jawa Tengah. Kadang sendiri saya berlibur disana namun lebih sering bersama adik mengunjungi mbah saya di Purworejo.
Nama desa mbah adalah Desa Seren. Saya selalu menyebutnya hanya Seren. Jika sudah menjelang liburan saya selalu bertanya pada ibu tentang peluang untuk bisa berlibur ke Seren. Dan ketika di jawab ya oleh ibu betapa senangnya saya saat itu. Yang terbayang pada saya adalah sawah, kebun, udara yang segar serta kelembutan mbah putri.
Seren hanyalah desa kecil yang tidak terlalu terkenal di Purworejo. Saya tahu mengenai ketidak terkenalan Seren ini ketika sudah menginjak dewasa. Saat bertemu dan mengobrol dengan seseorang yang saya kenal, dan ketika dalam pembicaraan ada terselip asal daerah lawan bicara saya yang mengaku lahir dan besar di Purworejo maka lansung saja saya mengaku bahwa ibu saya juga berasal dari Purworejo. Tak lupa saya sebutkan nama Seren pada kelanjutan informasi saya itu. Namun kebanyakan dari lawan bicara saya tak mengenal nama Seren. Mereka ada sedikit upaya menerawang, berpikir dengan agak keras dengan cara kepala dan mata mendongak sedikit keatas seperti mencoba mengingat-ingat semua pengetahuan mereka tentang Purworejo. Dan sepanjang ingatan saya tak ada satupun dari mereka yang pernah mengenal Seren ini.
Pasar di Seren buka hanya dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu. Mbah selalu menyebutnya dengan hari pasaran. Saat pasaran itu penduduk desa, yang tinggal di Seren maupun  yang diluar Seren akan berbondong-bondong mendatangi pasar Seren untuk kegiatan jual beli.
Mbah Reso adalah salah satu pelaku hari pasaran. Beliau dua kali seminggu itu berjualan bubur nasi dipasar. Bubur yang menurut ukuran saya yang masih kanak-kanak kecil sungguh unik dan enak.
Bubur itu sebetulnya ya sebagaimana biasanya bubur nasi, lembek dan legit karena sudah dicampuri santan kelapa. Namun yang membedakan dari bubur umumnya, bubur mbah Reso ini selalu dicampuri dua pilihan, pecel atau sayur tempe. Saya sungguh menikmati sensasi bubur mbah Reso.
Kadang karena mbah Reso tinggal tidak jauh dari tempat tinggal mbah putri, pas hari pasaran, sebelum mbah Reso berangkat kepasar, saya sering pagi-pagi diantar oleh mbah putri ketempat mbah Reso untuk berbelanja beberapa bungkus bubur untuk dimakan sebagai sarapan pagi saya.
Buat saya yang kanak-kanak, mbah Reso dan buburnya sungguh menyisakan kenangan tak terlupakan. Maka ketika beberapa tahun yang lalu saya mendengar berita mbah Reso sudah berpulang ke PangkuanNya, saya merasa kehilangan, kehilangan sosok mbah reso yang kala itu saja sudah sepuh dan rapuh, juga buburnya yang enak itu.
Bubur pecel atau bubur tempe ala mbah Reso tak pernah bisa saya jumpai lagi. Ketika saya berkunjung kembali ke Seren beberapa tahun yang lalu, ada saya coba sempatkan membeli bubur yang sama di pasar yang menurut orang-orang adalah buatan anak mbah Reso, namun tak saya jumpai lagi sensasi sebagaimana masa kanak-kanak saya dulu.
Masa kanak-kanak selalu saja menyisakan kenangan tak terlupakan. Bubur yang bisa jadi untuk ukuran saya sekarang biasa-biasa saja, namun dimata kanak-kanak saya sungguh adalah pengalaman indah yang tak kan pernah ada habisnya dikenang.


Bandar Lampung, 01 Nov 2015