Saturday 26 April 2003

Tanjung Priok yang (tidak lagi) saya cintai, bagian 3


Kalau kami ingin bepergian kesuatu tujuan, transportasi umumnya cumalah satu, sebuah mobil buatan jerman dengan merek opel yang akrab kami panggil dengan sebutan oplet. Dibagian belakang oplet ini, tempat para penumpang duduk, bagian dalamnya hampir semuanya terbuat dari kayu. Semua penumpangnya duduk saling berhadapan. Dioplet ini selalu ada seorang sopir dan seorang kernet. Kernet ini biasanya selalu ada di dipintu masuk mobil bagian belakang. Bergantungan sepanjang jalan dengan berteriak “ lincing lincing linciiiing … !!” maksudnya cilincing.

Jendela pada oplet ini bukanlah seperti sekarang yang berkaca dan bisa dibuka tutup hanya dengan menggesernya saja. Pada oplet dulu jendelanya hanya semata lubang yang ditutup dengan terpal. Jika cuaca cerah terpal itu digulung kemudian disangkutkan pada bagian atas jendela, jika sedang hujan maka terpal gulungan ini dilepas dari sangkutannya dan dibiarkan jatuh menutupi jendela menghindari air masuk dari luar.

Jika hujan turun mendadak maka biasanya pak kernet ini tergopoh-gopoh membantu para penumpang melepas gulungan terpal jendela, ini terutama jika penumpangnya ibu-ibu yang bisanya hanya berteriak-teriak saja takut kebasahan.

Yang namanya masa itu tak ada kata macet. Tidak pernah terbayangkan saat itu tanjung priok bakal seperti sekarang, macet dimana-mana !. Bepergian saat itu begitu menyenangkan. Jika siang hari memang udara sangat panas tapi hawanya segar karena memang tanpa polusi. Mobil yang melewati cilincing belumlah banyak. Kebanyakan hanya sepeda motor dan sepeda yang berlalu lalang, juga becak.

Ada beberapa hal yang membuat tanjung priok berbeda dengan daerah lain disekitar jakarta. Pertama cuma tanjung priok-lah daerah yang mempunyai tempat rekreasi alam, yaitu pantai. Tempat lain memang ada tempat rekreasinya tapi semuanya adalah buatan contohnya seperti taman mini dan ragunan misalnya.

Kalau saya sedang dalam pembicaraan dengan orang yang selisih usianya dengan saya diatas tiga puluh tahunan maka mereka akan mengenang satu tempat yang sangat kondang pada era tahun lima atau enam puluhan. Tempat orang-orang melepas kepenatan atas rutinitas yang dijalani sehari-hari, tempat dimana mereka selalu membawa sanak familinya berekreasi, apa lagi jika familinya itu berasal dari kampung diluar jakarta maka mereka akan bilang bahwa mereka belumlah disebut kejakarta jika belum mengunjungi tempat ini. Namanya pantai Sampur.

Ini adalah satu-satunya tempat rekreasi laut di jakarta dan sangat terkenal keindahannya. Beberapa malah menyebut pantai Sampur pada era itu, tak kalah indahnya dengan pantai kuta di bali. Berlebihan ? saya tidak tahu. Saya tidaklah pernah merasakan bahwa di Sampur ini ada pantainya. Yang namanya pantai kan mesti ada pasir dan banyak pohon kelapanya, sedangkan yang saya rasakan sejak kecil Sampur ini sudah dalam bentuk sebagai dermaga, sudah berbentuk cor-coran semen memanjang sepanjang bibir laut. Jadi dimata saya kehebatan pantai sampur adalah cuma kehebatan masa lampau yang saya tidak pernah mengalaminya.

Ada satu tempat lagi yang juga kondang dan identik dengan tanjung priok. Sama seperti sampur, tempat ini juga adalah tempat bagi orang orang yang pingin melepaskan diri dari kepenatan yang dijalaninya. Cuma bedanya tempat ini dikhususkan hanya bagi mereka yang sudah “mampu” menjalaninya saja. Namanya adalah Kramat Tunggak (KT). Yang ini adalah salah satu tempat “rekreasi” buatan di jakarta. Suatu pusat “rekreasi” yang dibuat oleh pak Ali Sadikin (gubernur jakarta waktu itu) sebagai wujud atas kepusingannya melihat begitu banyak tempat “rekreasi” yang tercecer di mana-mana dijakarta waktu itu.

Kenapa harus di tanjung priok? Karena tanjung priok pada masa itu masihlah menjadi daerah yang terpencil dari pemukiman sehingga diharapkan efek negatip terhadap lingkungan disekitar tidaklah besar. Juga karena tanjung priok yang karena adalah suatu daerah pelabuhan maka dibutuhkanlah tempat dimana orang bisa “berlabuh dan bersandar” dengan nyaman, nggak perlu cari yang pake nawar-nawar, tambah “pusing” nanti.

Itu sebabnya oleh pak gubernur dibangun suatu tempat dimana semuanya sudah “dibandrol” dan one stop shopping (he he.. ini lebih pada pendapat pribadi saja).

Pada masa saya kecil KT ini terkenal dengan dua nama untuk penyebutannya. Pertama kramtung, yang ini cuma disingkat saja supaya gampang menyebutnya, yang kedua orang-orang banyak menyebutnya pager seng. Kenapa pager seng karena memang KT ini satu kompleks itu dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari seng setinggi 3 meteran. Cuma ada satu atau dua pintu untuk keluar masuk pengunjungnya.

Seumur hidup saya cuma sekali saja saya pernah memasuki area pager seng ini. Saya masih duduk disekolah dasar (kalau tidak salah kelas lima) waktu itu. Siang-siang sepulang sekolah ada seorang teman mengajak saya untuk main ke pager seng. Teman saya ini sepertinya sudah sangat familiar dengan area itu. Jadi ketika kami sudah ada di dalam kompleks dengan bersepeda kami berkeliling sampai kelorong-lorong yang paling sempit melihat banyak hal yang sampai sekarang selalu saya kenang. Mungkin karena belum waktunya melihat yang begituan atau bagaimana, ketika saya sudah dirumah sampai beberapa hari saya selalu saja terbayang kejadian didalam pager seng itu. Maklumlah pada usia-usia segitu adalah awal saya mulai begitu gampang bergetar jika melihat sesuatu yang “harum-ranum”.


Lampung, April 2003

No comments:

Post a Comment