Tuesday 15 August 2006

Lingkaran setan (bagian 3, Selesai)



Semua persaingan di meja kerja sebenarnyalah tidak semata persaingan buta. Kami tetap anak-anak yang senang berteman sepermainan. Ledek meledek atas hasil yang telah dicapai bukanlah berkonotasi saling merendahkan.
Semua Cuma ungkapan humor yang memang perlu penyaluran – ungkapan persahabatan. Yang sudah mendahului tidaklah kemudian jumawa lalu mentang-mentang. Tidak begitu. Yang tertinggal tidaklah lalu merasa lebih rendah.

Jika sedang rehat ada keluar gurauan kami tentang dimana posisi masing-masing. Si A sudah sampai mana si B masih dimana dan ini memunculkan rasa kebersamaan atas teman sekeringat. Lalu diaturlah strategi disini. Yang sudah sampai tugas kelima bolehlah menawarkan hasil pekerjaannya pada yang baru tugas ketiga dan mentok berulang kali di tolak sang instruktur.

Perjanjiannya begini : hasil tugas ketiga yang sudah di okekan oleh instruktur akan dipakai oleh si B yang berulang kali mentok ditugas ketiga. Sudah tentu, resiko tanggung penumpang alias si B dan sebelumnya ada dibuat gentlemen agreement, kesepakatan antar lelaki, kalau ini ketahuan tidaklah membawa celaka bagi yang menolong.

Ooo alangkah indah persahabatan. Mengejar posisi unggul sah-sah saja tapi pertemanan mutlak berbicara disini.
Dan entah karena kami yang pandai berselingkuh atau nasib baik memang berpihak pada kami – tak tahulah. Yang pasti strategi ini selalu mulus dan kami semua senang atas itu.

Saya tak ingat bagaimana mula istilah ini diperdengarkan. Siapa yang memulai tak jelas. Dan istilah ini hanya ditempelkan untuk kaum tertinggal diurusan praktikum_tidak pada urusan teori.
Tapi istilah ini terus melekat kuat sampai kami selesai pendidikan dan terus menjadi obrolan menyenangkan pada waktu-waktu kami reunian di kemudian hari, sangat memorable.

Pada teman dikelompok yang tertinggal ini kami mengistilahkan mereka Lingkaran setan. Kenapa lingkaran karena anggotanya ya itu-itu saja. Melingkar-lingkar hanya disitu saja. Kalaupun berubah Cuma formatnya – urutannya saja. Selebihnya ya Cuma mereka ini.
Lalu kenapa ada kata setan, nah ini dia, sebenarnya tidaklah kami memaknai mereka setan dalam arti sebenarnya. Cuma meneruskan kata lingkaran saja. Lingkaran setan ini pada kami berarti kelompok yang kami upayakan untuk menghindar dari keanggotaannya. Kalaupun harus terjerumus kedalamnya upaya maksimal harus dilakukan agar bisa segera keluar, entah secara individu atau dengan berselingkuh itu.

Inilah uniknya PKKTL-9. Ada yang kalau ujian tertulis selalu unggul. Nilainya amat membanggakan. Jika berbicara selalu pada level tertinggi. Tapi karena kurang pada kecakapan dan kecepatan masuklah dia dikelompok lingkaran setan. Tak pernah bisa keluar meski usaha sudah maksimal, termasuk dengan - usaha perselingkuhan itu.

Selesai.

Bandar Lampung, Agustus 2006

Sunday 13 August 2006

Lingkaran setan (bagian 2)



Pada angkatan kami, sebagaimana dua sisi mata uang, juga terdiri dari cakap-tidak cakap__ cepat-tidak cepat. Yang cakap dan cepat, mungkin karena sudah bakat lahiriahnya tak pernah bisa terkejar oleh kelompok yang sebaliknya.
Apapun tugasnya, tak peduli itu berkaitan dengan besi ataupun kabel tetap saja mereka unggul. Selalu lebih cepat. Tak selalu lebih bagus memang – tapi dalam hal ini bagus bukanlah ukuran. Yang penting diokekan oleh instruktur itu sudahlah cukup. Dan melaju dengan dua tiga tugas didepan pesaing amatlah membanggakan diri.

Sementara menjadi yang tertinggal sudahlah pasti tidak mengenakkan. Tak enaklah melihat teman sudah berganti tugas sementara kita masih harus berkutat dengan tugas yang itu-itu saja.

Bagi kelompok tertinggal saat-saat ketika harus berhadapan dengan instruktur kala menyampaikan tugas adalah saat yang mendebarkan.
Iya kalau lansung oke bisa lansung ketugas berikutnya, kalau tidak .. apalagi jika maju kesekian kali untuk tugas yang sama dan masih juga belum di oke kan, ughh sesaklah dada ini.
Belum lagi mendapatkan sang pesaing tersenyum yang disembunyikan saat kita balik badan kembali kemeja kerja untuk tugas yang sama. Bukan untuk mengejek tapi lebih pada merasa geli dengan ekspresi kedua pihak.
Seperti melihat majikan dan batur. Satunya berkuasa memerintah satunya tak kuasa diperintah. Yang tua komat kamit badan ditegakkan tangan bergerak-gerak, yang muda hanya mantuk-mantuk tak banyak omong kedua tangan biasanya diadu didepan badan.

Sang instruktur, dalam hal ini adalah penguasa tunggal. Dialah yang menentukan bakal apa jadinya kita. Kata-katanya selalu bermakna sabda, gerakan tangannya bernada perintah dan matanya melemahkan urat syaraf kita. Jadi mendengarkan apa katanya, ikuti gerakan tangannya dan turuti kemana matanya bergerak adalah sudah separoh lebih peluang kita lebih besar.

Sesungguhnya, karena keseniorannya, Sang Instruktur sudahlah tahu kemampuan kami masing-masing. Berapa cakap si A berapa cepat si C bisalah dia meraba dari satu dua tugas yang dia berikan. Dan dari tahun ke tahun angkatan ke angkatan selalu saja ada dua kelompok ini. Tipikal sekali. Melihat kelompok mendahului dan tertinggal sudahlah biasa buat Sang Instruktur ini.

Kadang, dalam kekuasaannya yang mutlak itu suka muncul selera humornya juga. Diajaknyalah kami bergurau, ditanggapinyalah juga ledekan kami. Atau dibalik keangkeran matanya sebetulnya ada dia Cuma ingin mengerjai kami, mengetes mental, berapa besar daya tahan kami.
Biasanya kami tahu ini bukan tahu sendiri tapi oleh rekan yang melihat kami dan kemudian saling diceritakan.

Begini misalnya : suatu ketika maju kemeja Instruktur siswa dari kelompok tertinggal menyampaikan tugas, setelah dipegang-pegang sambil memicingkan mata tiba-tiba suara Sang Instruktur membesar, juga matanya dan dilemparlah pekerjaan siswa itu ketempat sampah sambil berkata-kata. Sang siswa, tanpa ba bi bu sambil mantuk mantuk berjalan ketempat sampah dan mengambil kembali pekerjaannya untuk dibetulkan lalu balik badan kembali kemeja kerja.
Nah saat dipunggungi siswa inilah Sang Instruktur mungkin tak bisa menahan gelinya sendiri, sambil memandang punggung tersenyumlah sang instruktur ini, he he he gue kerjain lu, mungkin begitu batinnya. Dan kami yang melihat adegan itu juga tersenyum geli sendiri.

Geli melihat majikan geli melihat batur.
Selanjutnya ...


Bandar Lampung, Agustus 2006

Wednesday 2 August 2006

Lingkaran setan (bagian 1)



Pertama bersinggungan dengan PKKTL mulanya saya agak ragu apa bisa prestasi saya tetap seperti sebagaimana saat saya bersekolah sebelumnya. Ragu karena dari awal mula saya tahu kedepan hari-hari saya bakal dipenuhi dengan keharusan belajar yang mutlak.
Mutlak? Bagaimana tidak, dari seribu tiga ratus lima puluh pendaftar Cuma diambil dua ratus lima puluh terbaik. Lalu penyaringan lewat test ppsikologi di ambil dua puluh lima terbaik. Peringkat dua puluh besar sudah pasti lolos tinggal kesehatannya oke tidak. Jika gagal diambil dari lima yang dicadangkan. Dan peringkat saya pas tipis benar dengan catatan saya sebelumnya, saya ada berperingkat sepuluh test masuk.
Jadi memang bukan main buat saya bisa berkesempatan menjadi siswa PKKTL ini. Berada dikalangan orang-orang mumpuni adalah selalu menjadi keinginan saya, mimpi saya. Saya memang tak pernah merasakan sekalipun titel juara kelas, paling mentok juara ketiga – itupun hanya sekali dua kali dan semuanya saat saya disekolah dasar.
Namun saya selalu ada dilevel permainan atas. Peringkat saya tak pernah lepas dari sepuluh besar dan kelas yang saya diami sampai saya selesaikan menengah pertama saya, pastilah selalu terdiri dari anak yang berperingkat teratas. Jadi tak pernah juara kelaspun tak terlalu mengganggu saya, karena saya hanya terkalahkan oleh orang yang memang unggulan.
Dalam dua puluh orang kami menjalani pendidikan, sewajarnya orang bersekolah, selalu saja ada dua sisi mata uang saling besebelahan. Ada pintar-tidak pintar, ada cakap-tidak cakap, nakal-tidak nakal, cepat-tidak cepat, favorit guru-bukan favorit guru dan sebagainya.
Sebagaimana koin, dua sisi ini selalu ada, beriringan dan saling melengkapi.
Pada PKKTL ada satu hal yang membuat institusi ini berbeda dengan kebanyakan institusi pendidikan yang lain, yaitu iklim kompetisi antar siswa yang dibangun begitu rapi dan konsisten dalam pelaksanaannya.
Kurikulum yang mensyaratkan siswa baru boleh mengerjakan tugas berikutnya hanya jika tugas yang sekarang dikerjakan sudah tuntas benar-benar membuat siswa terpacu untuk tidak ketinggalan oleh yang lain. Keinginan untuk mengeluarkan segala kemampuan begitu menggebu. Adu cepat, adu bagus, ada di setiap detik dalam keseharian. Saling lirik depan belakang kanan kiri adalah strategi standard yang harus dijalankan agar irama bisa selalu diatur untuk tetap kompetitif.
Saya ambil contoh : Dalam hal tugas praktikum, pintar saja tidak cukup. Siswa haruslah juga cakap dan cepat.
Saat sama-sama menerima tugas pertama segera injak gas dan kebut sebisanya. Memastikan tidak tertinggal ditugas pertama adalah harus. Moral mesti diraih agar kepercayaan diri menguat. Ditugas pertama tak perlu dulu lirik sana-sini. Fokus saja. Usahakan bisa maju ke instruktur lebih dulu. Biar oleh instruktur ini hasil keringat kita dipegangnya, dirabanya, diukurnya, dicari-cari kesalahannya terus kita dengar komentar-komentarnya.
Jika belum oke segera kerjakan lagi, kita betulkan, lakukan segala komentarnya, lalu maju lagi sampai di oke kan hasil kita ini. Kalau sudah oke tugas yang selanjutnya pun diberikanlah ke kita dan dikerjakan dengan pola yang sama.
Ditugas ketiga keempat adalah kita sempatkan melirik pesaing kita, teman-teman sekeringat disekitar kita. Dimana posisi kita dan gigi berapa kita harus pasang disinilah waktunya.
Kalau sudah unggul bolehlah santai barang sejenak mengambil nafas, mengaso. Tak perlu terburu-buru, biar para pesaing saja yang tergopoh-gopoh mengejar. Atau - jika ingin memperbesar jarak bolehlah tempo ditambah. Semua jurus dikeluarkan, gas ditekan lebih dalam. Usahakan untuk mendahului paling tidak dua atau tiga tugas.
Memang asyik jika sudah leading jauh. Kalaupun kita lengah atau terpeleset sekali dua kali jarak tetaplah terjaga – masih belum tersalip.
Selanjutnya ...

Bandar Lampung, Agustus 2006

Saturday 1 July 2006

Struk gaji


Selama pendidikan di PKKTL, dalam keseharian, kami sering berbincang tentang apa jadinya kami nanti kelak. Beberapa yang kami anggap pandai dan masuk kategori “anak manis” sudahlah aman karena sepertinya jalur bekerja pada institusi almamater terbuka lebar. Pandai, rajin dan tidak neko-neko adalah modal berharga untuk mereka yang ada digolongan ini. Karpet merah untuk kesana sudahlah tergelar didepan mata.

Dan bagi yang merasa di kategori lainnya bolehlah berandai-andai, mau kemana setelah lulus. Kalau sedang bercengkrama kami sambil bergurau (ada juga kami serius) membayangkan keinginan-keinginan kami besok. Mau keperusahaan ini-itu, ada yang sudah di bookingkan oleh bapaknya ketempat beliau kerja, atau – ada yang ingin melanjutkan sekolah secara normal.

Dulu, saat masih ditahun kedua, membayangkan lulus atau tidak saja sudah menjadi beban dan pertanyaan besar.

Mendebarkan, saat kami maju satu persatu melihat lembar pengumuman kelulusan. Satu-satu dari dua puluh siswa, berdasarkan nomor urut, menuju papan pengumuman untuk melihat apakah bisa terus ke tahun ketiga ataukah harus meninggalkan kawah candradimuka ini dengan selembar surat pernyataan pernah mengikuti PKKTL. Uugghhh… benar-benar masa tegang kala itu.

Pertanyaan mendasar yang sering terungkap dan selalu menjadi topik yang menarik menjelang kelulusan kami adalah berapa gaji yang akan kami dapat kelak saat bekerja. Dan lagi-lagi kami berandai-andai dengan pertanyaan berapa sih standar gaji saat ini. Tebak-tebakan pun berlansung, seperti, berapa gaji Pak Dharma, kepala sekolah kami. Berapa gaji Pak Rompas, besar mana dengan gaji Pak Jhoni.

Ada bocoran, tepatnya tebakan juga, dari seorang pekerja senior di workshop yang bilang kalau Pak Ignatius, kepala workshop saat itu, sudah bergaji diatas empat ratus ribu rupiah !!!

Seberapa akurat tebak-tebakan kami ini, sampai sekarang pun kami tak pernah tahu kebenarannya.

Tapi yang membuat perbincangan tambah seru adalah tebak-tebakan siapa diantara kami yang akan paling sukses kelak. Ukurannya sudah bukan berapa kami dibayar setelah lulus nanti tapi sudah melompat jauh ke beberapa tahun kemudian.

Ada yang memakai ukuran lima tahun kedepan. Ada yang bilang kurang kalau segitu – sepuluh tahun barulah pantas mengukur kesuksesan seseorang, sebagian lagi bilang gimana kalo lima belas tahun. Oke, katakanlah sepuluh-lima belas tahun, lalu apa? Ngukurnya gimana?

Ya dari struk gaji lah, kata teman menyahuti. Ntar kalo pas kita reunian sepuluh atau lima belas tahun lagi kita lihat struk gajinya, kita kumpulin trus buka bareng-bareng, siapa yang paling gede itulah yang paling sukses, gampang kan? Kami tertawa, tak ada kesepakatan saat itu dan pembicaraanpun mengalir ke topik yang lain.

Hhmmm …….. Obrolan anak belasan tahun yang sedang mencari jati diri dan setelah enam belas tahun berlalu saya suka tersenyum sendiri kalau mengingat itu semua.

Reunian sepuluh-lima belas tahun lagi buat saya oke saja, tapi struk gaji? Ahh .. tak usahlah kita seriusi pembicaraan enam belas tahun yang lalu itu. Biarlah jadi cerita lucu yang layak dikenang sampai kapanpun. Juga, biarlah struk gaji ini jadi rahasia kita sendiri saja. Karna toh kesuksesan seseorang bukanlah semata pada angka di struk gaji.

Anda setuju dengan saya tidak ?


Bandar Lampung, Juli 2006