Tuesday 4 February 2003

Sekolah Jerman,bagian 1


Dari kecil saya tidak pernah membayangkan bahwa jalan hidup saya akan berkutat disekitar tekhnik. Kalau merunut dari sejarahnya mungkin bakat teknik saya berasal dari kakek dari bapak yang punya profesi sebagai tukang kayu. Seberapa ahli dan terkenalnya beliau saya tidak tahu karena bapak saya sendiri sudah sejak kecil tidak mengenal bapaknya (meninggal dunia).

Waktu kecil kalau saya ditanya mau jadi apa nantinya saya selalu bilang mau jadi insinyur. Kenapa insinyur saya tidak tahu. Mungkin karena lingkungan saya adalah kelas pekerja yang kebanyakan bekerja di dock kapal. Mereka kalau berangkat bekerja selalu lengkap dengan pakaian kerjanya yang khas, celana jeans, baju lengan panjang tebal (kebanyakan berwarna biru) juga tak ketinggalan safety shoes yang panjangnya sampai mendekati dengkul.

Cara mereka memakai safety shoes ini juga menarik. Celana jeans mereka yang cut bray, bagian bawahnya dimasukan kedalam safety shoes. Gagah sekali mereka buat anak kecil seperti saya. Orang-orang menyebut mereka dengan tukang mesin, nah anak kecil seperti saya lansung saja yang terpikir bahwa mesin adalah insinyur. Mereka kerjanya seperti apa sama sekali tidak terbayangkan oleh saya waktu itu.

Menjelang tamat SMP saya memutuskan untuk masuk STM saja. Sesuatu yang sangat saya sesali kemudian. Waktu itu saya hanya sekedar ikut-ikutan saja. Teman dekat saya pingin masuk STM jadi supaya bisa terus sama dia saya juga masuk STM. Kami mengambil jurusan elektro. Bergengsi, tempatnya orang pinter kami beralasan waktu itu.

Ndilalah kok teman saya ini nilainya jeblok sehingga tidak tembus sekolah Negri. Tingal saya-lah suka tidak suka harus menjalani apa yang sudah saya putuskan. Mau bilang orang tua untuk pindah sekolah rasanya nggak mungkin, bisa ‘habis’ saya nanti. Tidak bisa disalahkan memang karena mereka toh sudah keluar uang banyak untuk sekolah saya ini meskipun katanya sekolah Negri.

Bapak saya adalah polisi aktif golongan Bintara. Saat itu beliau bertugas di kantor kedutaan besar di Jakarta. Bahasa kerennya Sat-Pam-VIP (satuan pengaman orang penting). Biasanya rutin empat bulan sekali bapak saya dirotasi ke kedutaan yang berbeda. Kok ya pas menjelang PKKTL buka pendaftaran bapak saya sedang bertugas di kedutaan Jerman (barat). Jadi begitu bapak saya tahu ada lowngan begini lansung saja beliau minta saya untuk ikut test.

Saya manut saja. Toh saya juga sudah tidak semangat lagi untuk terus ke STM. Iseng-iseng aja ikut wong nggak bayar aja .. pikir saya. Semua persyaratan saya siapkan lalu saya antar ke Pulomas, kantor Siemens. Beberapa teman SMP saya ada juga yang ikut ndaftar. Sebagian dari mereka saya beri tahu sebagian lagi tahunya dari iklan di koran Kompas.

Dari sekitar 1300-an (data ini saya dapat setelah saya jadi siswa PKKTL) pendaftar diambil 350 orang yang berhak untuk mengikuti test tertulis. Belakangan saya tahu namanya psycho test. Tadinya saya pikir testnya akan seperti ujian ebtanas, yang melulu teori. Wah saya harus belajar lagi nih, kata saya. Orang tua saya juga berpikir tidak jauh dengan saya, ujung-ujungnya saya disuruh belajar lagi terutama yang terkait dengan ilmu-ilmu elektonika.

“kalau kamu bisa lolos bapak-ibu jadi rada enteng” kata ibu saya.

Bapak saya nambahin, “ini sekolah Jerman lho, gratis, dapet uang saku lagi, kalo lulus nanti pasti kerja”

Yang terjadi ternyata diluar dugaan. Testnya blas nggak ada teorinya. Yang ada cuma permainan logika dan kecepatan berpikir. Mungkin berangkat dari situ barangkali yang menyebabkan lulusan PKKT jadi pada cepet ‘nangkep’, ha ha ha .. emangnya kiper.

Selama test perasaan saya biasa saja. Tegang tidak santai juga tidak. Semua saya jalani apa adanya. Seperti dalam ujian-ujian di sekolah saya juga sempatkan untuk melirik pesaing-pesaing saya kiri-kanan. Terlihat oleh saya wajah-wajah multi ekspresi. Ada yang tegang, pasrah ada juga yang kelihatan begitu ‘nggetu’ mengisi lembar soal. Saya berpikir mereka ini pastilah para juara kelas dimasing-masih sekolah mereka. Mereka pasti terbebani oleh perasaan “ gue kan juara kelas, NEM gua gede, masak sih gue nggak lolos “.

Sedangkan saya yang yang seumur-umur karir sekolahan saya mentok juara tiga jadi Nothing to lose aja.

Silahkan baca lanjutannya ...

Lampung, February 2003

No comments:

Post a Comment