Wednesday 2 August 2006

Lingkaran setan (bagian 1)



Pertama bersinggungan dengan PKKTL mulanya saya agak ragu apa bisa prestasi saya tetap seperti sebagaimana saat saya bersekolah sebelumnya. Ragu karena dari awal mula saya tahu kedepan hari-hari saya bakal dipenuhi dengan keharusan belajar yang mutlak.
Mutlak? Bagaimana tidak, dari seribu tiga ratus lima puluh pendaftar Cuma diambil dua ratus lima puluh terbaik. Lalu penyaringan lewat test ppsikologi di ambil dua puluh lima terbaik. Peringkat dua puluh besar sudah pasti lolos tinggal kesehatannya oke tidak. Jika gagal diambil dari lima yang dicadangkan. Dan peringkat saya pas tipis benar dengan catatan saya sebelumnya, saya ada berperingkat sepuluh test masuk.
Jadi memang bukan main buat saya bisa berkesempatan menjadi siswa PKKTL ini. Berada dikalangan orang-orang mumpuni adalah selalu menjadi keinginan saya, mimpi saya. Saya memang tak pernah merasakan sekalipun titel juara kelas, paling mentok juara ketiga – itupun hanya sekali dua kali dan semuanya saat saya disekolah dasar.
Namun saya selalu ada dilevel permainan atas. Peringkat saya tak pernah lepas dari sepuluh besar dan kelas yang saya diami sampai saya selesaikan menengah pertama saya, pastilah selalu terdiri dari anak yang berperingkat teratas. Jadi tak pernah juara kelaspun tak terlalu mengganggu saya, karena saya hanya terkalahkan oleh orang yang memang unggulan.
Dalam dua puluh orang kami menjalani pendidikan, sewajarnya orang bersekolah, selalu saja ada dua sisi mata uang saling besebelahan. Ada pintar-tidak pintar, ada cakap-tidak cakap, nakal-tidak nakal, cepat-tidak cepat, favorit guru-bukan favorit guru dan sebagainya.
Sebagaimana koin, dua sisi ini selalu ada, beriringan dan saling melengkapi.
Pada PKKTL ada satu hal yang membuat institusi ini berbeda dengan kebanyakan institusi pendidikan yang lain, yaitu iklim kompetisi antar siswa yang dibangun begitu rapi dan konsisten dalam pelaksanaannya.
Kurikulum yang mensyaratkan siswa baru boleh mengerjakan tugas berikutnya hanya jika tugas yang sekarang dikerjakan sudah tuntas benar-benar membuat siswa terpacu untuk tidak ketinggalan oleh yang lain. Keinginan untuk mengeluarkan segala kemampuan begitu menggebu. Adu cepat, adu bagus, ada di setiap detik dalam keseharian. Saling lirik depan belakang kanan kiri adalah strategi standard yang harus dijalankan agar irama bisa selalu diatur untuk tetap kompetitif.
Saya ambil contoh : Dalam hal tugas praktikum, pintar saja tidak cukup. Siswa haruslah juga cakap dan cepat.
Saat sama-sama menerima tugas pertama segera injak gas dan kebut sebisanya. Memastikan tidak tertinggal ditugas pertama adalah harus. Moral mesti diraih agar kepercayaan diri menguat. Ditugas pertama tak perlu dulu lirik sana-sini. Fokus saja. Usahakan bisa maju ke instruktur lebih dulu. Biar oleh instruktur ini hasil keringat kita dipegangnya, dirabanya, diukurnya, dicari-cari kesalahannya terus kita dengar komentar-komentarnya.
Jika belum oke segera kerjakan lagi, kita betulkan, lakukan segala komentarnya, lalu maju lagi sampai di oke kan hasil kita ini. Kalau sudah oke tugas yang selanjutnya pun diberikanlah ke kita dan dikerjakan dengan pola yang sama.
Ditugas ketiga keempat adalah kita sempatkan melirik pesaing kita, teman-teman sekeringat disekitar kita. Dimana posisi kita dan gigi berapa kita harus pasang disinilah waktunya.
Kalau sudah unggul bolehlah santai barang sejenak mengambil nafas, mengaso. Tak perlu terburu-buru, biar para pesaing saja yang tergopoh-gopoh mengejar. Atau - jika ingin memperbesar jarak bolehlah tempo ditambah. Semua jurus dikeluarkan, gas ditekan lebih dalam. Usahakan untuk mendahului paling tidak dua atau tiga tugas.
Memang asyik jika sudah leading jauh. Kalaupun kita lengah atau terpeleset sekali dua kali jarak tetaplah terjaga – masih belum tersalip.
Selanjutnya ...

Bandar Lampung, Agustus 2006

No comments:

Post a Comment