Saturday 26 February 2005

Bulutangkis (lanjutan)


Dengan lutut yang agak bengkak saya tetap saja masuk kerja. Sampai berminggu kemudian kondisi lutut saya ya tetap segitu saja. Jalan tetap pincang. Lutut saya, mungkin karena bengkak ini, tidak dapat dilipat penuh. Betis tidak pernah bisa saya sentuhkan kebagian bawah paha saya. Jadi gerakan kaki kiri saya ini sangat terbatas sekali.

Terakhir-terakhir saat berjalan saya cenderung selalu mau jatuh, Lutut saya, jika jalan saya agak cepat atau kurang hati-hati, cenderung tertekuk kebagian dalam. Persis saat kejadian saya jatuh dilapangan bulutangkis dulu. Ujung-ujungnya jalan saya mestilah pelan dan diatur-atur supaya kaki saya tetap dalam posisi lurus tidak sampai tertekuk kedalam.

Berkali-kali saya konsultasikan kedokter tulang tapi tidak ada manfaatnya sama sekali. Kalau Cuma pincang saja okelah mungkin memang perlu waktu untuk proses penyembuhan. Tapi ini selalu mau jatuh saja dan berbulan-bulan tidak ada perubahan. Saya tidak sabar lagi. Hilang sudah rasa percaya saya terhadap semua dokter tulang di Lampung ini. Saya harus berobat ke Jakarta…..!!!

Juni 2003,
Adik saya kebetulan bekerja di Rumah sakit Pantai Indah Kapuk (PIK). Menurut dia di PIK sana ada dokter tulang yang sangat terkenal, namanya dokter Franky. Dibanding dengan dokter tulang lain yang kebetulan berpraktek juga di PIK dokter Franky inilah yang pasiennya paling banyak dan dokter Franky ini juga praktek di beberapa rumah sakit yang lain dan pasiennya juga banyak disana.

Setelah confirm tanggal dan jam nya, Sabtu pagi berangkatlah saya dari Lampung, Istri dan Tasya saya ajak. Sambil njenguk mbah nya di Jakarta, begitu pikir saya.
Saya lansung “njujuk” dirumah adik saya. Kebetulan dia tinggal di rumah susun yang berjarak tidak jauh dari PIK.

Menjelang jam lima sore diantar oleh suami adik saya, kami lansung menuju PIK karena janjian dengan dokternya sekitar jam setengah enam.
Benar, tidak meleset jauh dari waktu yang ditentukan bertemulah saya dengan dokter yang bernama Franky.
Cepat saja saya diperintahkan rebah dan kaki saya mulai diperiksa. Ditekuk-tekuk, ditarik-tarik, lutut saya diketuk-ketuk dengan jarinya segera dia berkesimpulan bahwa antara tulang betis dan tulang paha tidak terhubung baik yang artinya memang ada masalah dengan lutut saya. Tapi apa masalahnya harus dilakukan pengecekan lebih detail dan diputuskan saat itu juga saya besok harus dioperasi.

Kamar lansung disiapkan dan saya mesti opname malam itu juga. Ipar saya pulang memberi kabar kerumah. Lalu kembali lagi kerumah sakit membawa baju salin, bukan baju milik saya tapi baju milik ipar saya karena memang saya berencana pulang kelampung besoknya sehingga saya sama sekali ada persiapan untuk tinggal dalam waktu yang lama.

Pagi jam sembilan besoknya saya masuk ruang operasi. Seumur hidup saya belum pernah saya dioperasi, membayangkan saja tidak. Jadi meskipun berusaha rilek tetap saja saya ada perasaan gugup. Dokter Franky sejak awal sudah mengatakan bahwa operasi ini adalah operasi antara, artinya setelah diketahui masalahnya, dianalisa lalu baru diputuskan perlu tidaknya operasi berikutnya.

Diruang operasi total ada lima pembantu dokter. Cuma satu yang lelaki sisanya wanita semua dan semuanya saya perkirakan dibawah tigapuluh tahunan usianya dan saya hanya mengenakan baju operasi yang super tipis itu tanpa ada penutup tubuh yang lain. Sangat risi dipegang-pegang oleh wanita ketika kita tidak mengenakan apa-apa.
Setelah diberi suntikan anastesi saya rebah terlentang. Antara badan dan kaki saya diberi tirai penutup dan disamping kiri saya ada monitor 14” untuk saya melihat jalannya operasi.

Kedua kaki saya ditumpukan kesebuah penyangga, persis seperti wanita yang akan melahirkan.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian efek anastesi mulai bekerja. Kaki saya mulai dari selangkangan tidak merasakan apa-apa lagi. Menggerakkan jari kaki saja sedikitpun tidak bisa. Dalam pikiran saya kalau ada gempa atau kebakaran bisa apa saya saat itu. Pasrah dan menyerahkan semuanya pada tim medis dan Tuhan saja saya saat itu.

Yang dikatakan operasi adalah memasukan kamera optik kelutut saya untuk menganalisa apa yang bermasalah pada lutut saya. Jadi tidak ada pembedahan. Cuma alat seperti selang dia. 6mm ditusukkan kelutut saya.

Diawal operasi sambil mengutak-utik lutut saya dokter Franky menerangkan apa saya yang dia lakukan. Ini tempurung, ini otot anu namanya, ini jaringan anu. Sampai dia mengatakan ada otot yang terlepas dari tulang betis saya. Saya melihat semuanya lewat monitor disamping saya. Otot yang lepas tadi digerak-gerakkan oleh dokter Franky dan sepertinya dia ingin memastikan saya sudah melihat apa yang menjadi masalah pada lutut saya.

Operasi belum selesai saya sudah tertidur. Entah karena efek anastesi atau memang saya kurang tidur malamnya saya tidak pasti. Yang jelas ketika saya sadar saya sudah tidak diruang operasi dan jam sudah menunjukan pukul lima sore.
Malamnya dokter Franky mengunjungi saya. Diterangkan bahwa memang ada beberapa otot yang terlepas dari tulang sehingga antara tulang betis dan tulang paha tidak ada pertalian yang benar. Inilah alasan pasti kenapa saya jika berjalan cenderung mau jatuh saja.

Dan dokter Franky menambahkan, kasus ini sama persis dengan apa yang terjadi dengan pesepak bola Marco Van Basten ketika dia memutuskan untuk gantung sepatu. Jadi..... sama dengan Marco Van Basten sepertinya saya juga mesti gantung raket setelah operasi ini.

Bandar Lampung, Februari 2005

No comments:

Post a Comment