Hampir disetiap liburan kenaikan kelas sekolah
dasar saya selalu berkunjung kerumah mbah di Purworejo Jawa Tengah. Kadang
sendiri saya berlibur disana namun lebih sering bersama adik mengunjungi mbah saya
di Purworejo.
Nama desa mbah adalah Desa Seren. Saya selalu
menyebutnya hanya Seren. Jika sudah menjelang liburan saya selalu bertanya pada
ibu tentang peluang untuk bisa berlibur ke Seren. Dan ketika di jawab ya oleh
ibu betapa senangnya saya saat itu. Yang terbayang pada saya adalah sawah,
kebun, udara yang segar serta kelembutan mbah putri.
Seren hanyalah desa kecil yang tidak terlalu
terkenal di Purworejo. Saya tahu mengenai ketidak terkenalan Seren ini ketika
sudah menginjak dewasa. Saat bertemu dan mengobrol dengan seseorang yang saya
kenal, dan ketika dalam pembicaraan ada terselip asal daerah lawan bicara saya
yang mengaku lahir dan besar di Purworejo maka lansung saja saya mengaku bahwa
ibu saya juga berasal dari Purworejo. Tak lupa saya sebutkan nama Seren pada
kelanjutan informasi saya itu. Namun kebanyakan dari lawan bicara saya tak
mengenal nama Seren. Mereka ada sedikit upaya menerawang, berpikir dengan agak
keras dengan cara kepala dan mata mendongak sedikit keatas seperti mencoba
mengingat-ingat semua pengetahuan mereka tentang Purworejo. Dan sepanjang
ingatan saya tak ada satupun dari mereka yang pernah mengenal Seren ini.
Pasar di Seren buka hanya dua kali seminggu,
Rabu dan Sabtu. Mbah selalu menyebutnya dengan hari pasaran. Saat pasaran itu
penduduk desa, yang tinggal di Seren maupun
yang diluar Seren akan berbondong-bondong mendatangi pasar Seren untuk
kegiatan jual beli.
Mbah Reso adalah salah satu pelaku hari pasaran.
Beliau dua kali seminggu itu berjualan bubur nasi dipasar. Bubur yang menurut
ukuran saya yang masih kanak-kanak kecil sungguh unik dan enak.
Bubur itu sebetulnya ya sebagaimana biasanya
bubur nasi, lembek dan legit karena sudah dicampuri santan kelapa. Namun yang
membedakan dari bubur umumnya, bubur mbah Reso ini selalu dicampuri dua
pilihan, pecel atau sayur tempe. Saya sungguh menikmati sensasi bubur mbah
Reso.
Kadang karena mbah Reso tinggal tidak jauh dari
tempat tinggal mbah putri, pas hari pasaran, sebelum mbah Reso berangkat
kepasar, saya sering pagi-pagi diantar oleh mbah putri ketempat mbah Reso untuk
berbelanja beberapa bungkus bubur untuk dimakan sebagai sarapan pagi saya.
Buat saya yang kanak-kanak, mbah Reso dan
buburnya sungguh menyisakan kenangan tak terlupakan. Maka ketika beberapa tahun
yang lalu saya mendengar berita mbah Reso sudah berpulang ke PangkuanNya, saya
merasa kehilangan, kehilangan sosok mbah reso yang kala itu saja sudah sepuh
dan rapuh, juga buburnya yang enak itu.
Bubur pecel atau bubur tempe ala mbah Reso tak
pernah bisa saya jumpai lagi. Ketika saya berkunjung kembali ke Seren beberapa
tahun yang lalu, ada saya coba sempatkan membeli bubur yang sama di pasar yang
menurut orang-orang adalah buatan anak mbah Reso, namun tak saya jumpai lagi sensasi
sebagaimana masa kanak-kanak saya dulu.
Masa kanak-kanak selalu saja menyisakan kenangan
tak terlupakan. Bubur yang bisa jadi untuk ukuran saya sekarang biasa-biasa
saja, namun dimata kanak-kanak saya sungguh adalah pengalaman indah yang tak kan
pernah ada habisnya dikenang.
Bandar Lampung, 01 Nov 2015
No comments:
Post a Comment