Tuesday 19 June 2018

Guru yang saya kagumi


Ketika kecil saya pernah sangat bercita-cita untuk kelak menjadi seorang guru. Dimata saya yang kanak-kanak dulu, profesi guru sungguh enak. Ketika berbicara dan didengarkan oleh murid-murid sekelas, buat saya itu sungguh menyenangkan.
Saat itu saya belum paham benar makna kata mulia untuk profesi seorang guru. Hanya perasaan enak saja, karena merasa punya kuasa atas murid yang di ajar.
Kelak setelah dewasa saya menyadari makna kata mulia disini adalah bahwa kita bukanlah kita yang sekarang ini tanpa peranan guru kita dahulu.
Sepanjang kenangan saya belajar disekolah, ada satu guru yang buat saya sungguh meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Seorang perempuan yang pernah menjadi wali kelas saya di SD. Beliau begitu saya kagumi karena sikap-sikapnya yang lemah lembut dan keibuan.
Namanya Bu Guru Sudarwati. Keturunan Jawa, parasnya manis, rambutnya sebahu, berkulit agak coklat dan selalu menggunakan pakaian rok terusan saat mengajar. Cara beliau saat berbicara dengan siswanya sungguh lembut, amat kenes khas Jawa. Tidak pernah seingat saya beliau berbicara dengan nada yang tinggi. Selalu saja datar, luwes dengan intonasi baik.
Kekaguman saya terhadap Bu Guru Sudarwati bukanlah mengenai materi pelajaran yang beliau ajarkan. Namun lebih kepada bagaimana beliau bersikap, pada senyumnya yang selalu mengembang, pada caranya merangkul anak didiknya dan pada cara beliau berbicara yang sungguh amat mengesankan, sangat lah mirip dengan Mbah Putri saya di Purworejo yang juga adalah idola saya.
Saat beliau melahirkan anak pertamanya, saya bersama beberapa teman sekelas berkunjung sore-sore kerumah Bu Guru Sudarwati. Kami bertemu dengan suami Bu Guru Sudarwati yang menurut saya sungguh mirip dengan pebulutangkis Liem Swie King. Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Suami Bu Guru Sudarwati juga sangat ramah. Beliau menyambut kami serombongan dengan banyak senyum. Dan kebetulan sekali saat itu suami Bu Guru Sudarwati bercelana pendek ala pemain bulu tangkis juga, jadi klop lah dengan penampakan Liem Swie King.
Rumah Bu Guru Sudarwati adalah rumah kontrakan sepetak, berdinding geribik (anyaman bambu) dengan kamar mandi yang terpisah dari rumah. Didalam rumah yang hanya satu kamar itu, bersatu semua barang-barang milik keluarga Bu Guru Sudarwati. Disitu ada tempat tidur berkelambu, lemari kecil, kompor, panci, ember dan lain-lain. Lantainya tanah, jadi kami semua tetap bersandalan saat didalam rumah Bu Guru Sudarwati.
Bu Guru Sudarwati hanya 1 tahun menjadi wali kelas saya di SD. Namun kenangan atas pribadi beliau yang baik itu meninggalkan banyak kesan mendalam pada saya. Mengalahkan banyak guru SD saya yang lain yang pernah juga menjadi guru dan wali kelas saya.
Cerita itu semua terjadi sekira 37-38 tahun yang lalu. Selepas saya SD saya tak pernah berjumpa lagi dengan Bu Guru Sudarwati. Dari beberapa teman saya, ada saya dengar juga bahwa beliau masih terus mengajar di sekolah yang sama.
Kalau saat dulu sekolah usia saya 10 tahun dan usia Bu Guru Sudarwati katakanlah 20 tahun, itu artinya usia Bu Guru Sudarwati saat ini sudah 58 tahun. Sangat mungkin saat ini beliau sudah sudah pensiun dari mengajar dan sedang menikmati perannya sebagai seorang Nenek, anak dari bayi yang 38 tahun yang lalu saya kunjungi kelahirannya di Rumah Bu Guru Sudarwati.


Cikupa, 19 Juni 2018

Sunday 1 November 2015

Mbah Reso

Hampir disetiap liburan kenaikan kelas sekolah dasar saya selalu berkunjung kerumah mbah di Purworejo Jawa Tengah. Kadang sendiri saya berlibur disana namun lebih sering bersama adik mengunjungi mbah saya di Purworejo.
Nama desa mbah adalah Desa Seren. Saya selalu menyebutnya hanya Seren. Jika sudah menjelang liburan saya selalu bertanya pada ibu tentang peluang untuk bisa berlibur ke Seren. Dan ketika di jawab ya oleh ibu betapa senangnya saya saat itu. Yang terbayang pada saya adalah sawah, kebun, udara yang segar serta kelembutan mbah putri.
Seren hanyalah desa kecil yang tidak terlalu terkenal di Purworejo. Saya tahu mengenai ketidak terkenalan Seren ini ketika sudah menginjak dewasa. Saat bertemu dan mengobrol dengan seseorang yang saya kenal, dan ketika dalam pembicaraan ada terselip asal daerah lawan bicara saya yang mengaku lahir dan besar di Purworejo maka lansung saja saya mengaku bahwa ibu saya juga berasal dari Purworejo. Tak lupa saya sebutkan nama Seren pada kelanjutan informasi saya itu. Namun kebanyakan dari lawan bicara saya tak mengenal nama Seren. Mereka ada sedikit upaya menerawang, berpikir dengan agak keras dengan cara kepala dan mata mendongak sedikit keatas seperti mencoba mengingat-ingat semua pengetahuan mereka tentang Purworejo. Dan sepanjang ingatan saya tak ada satupun dari mereka yang pernah mengenal Seren ini.
Pasar di Seren buka hanya dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu. Mbah selalu menyebutnya dengan hari pasaran. Saat pasaran itu penduduk desa, yang tinggal di Seren maupun  yang diluar Seren akan berbondong-bondong mendatangi pasar Seren untuk kegiatan jual beli.
Mbah Reso adalah salah satu pelaku hari pasaran. Beliau dua kali seminggu itu berjualan bubur nasi dipasar. Bubur yang menurut ukuran saya yang masih kanak-kanak kecil sungguh unik dan enak.
Bubur itu sebetulnya ya sebagaimana biasanya bubur nasi, lembek dan legit karena sudah dicampuri santan kelapa. Namun yang membedakan dari bubur umumnya, bubur mbah Reso ini selalu dicampuri dua pilihan, pecel atau sayur tempe. Saya sungguh menikmati sensasi bubur mbah Reso.
Kadang karena mbah Reso tinggal tidak jauh dari tempat tinggal mbah putri, pas hari pasaran, sebelum mbah Reso berangkat kepasar, saya sering pagi-pagi diantar oleh mbah putri ketempat mbah Reso untuk berbelanja beberapa bungkus bubur untuk dimakan sebagai sarapan pagi saya.
Buat saya yang kanak-kanak, mbah Reso dan buburnya sungguh menyisakan kenangan tak terlupakan. Maka ketika beberapa tahun yang lalu saya mendengar berita mbah Reso sudah berpulang ke PangkuanNya, saya merasa kehilangan, kehilangan sosok mbah reso yang kala itu saja sudah sepuh dan rapuh, juga buburnya yang enak itu.
Bubur pecel atau bubur tempe ala mbah Reso tak pernah bisa saya jumpai lagi. Ketika saya berkunjung kembali ke Seren beberapa tahun yang lalu, ada saya coba sempatkan membeli bubur yang sama di pasar yang menurut orang-orang adalah buatan anak mbah Reso, namun tak saya jumpai lagi sensasi sebagaimana masa kanak-kanak saya dulu.
Masa kanak-kanak selalu saja menyisakan kenangan tak terlupakan. Bubur yang bisa jadi untuk ukuran saya sekarang biasa-biasa saja, namun dimata kanak-kanak saya sungguh adalah pengalaman indah yang tak kan pernah ada habisnya dikenang.


Bandar Lampung, 01 Nov 2015

Sunday 3 April 2011

Bea siswa Mbak Jasmine

Anakku Jasmine
Selamat atas prestasi yang sudah kamu raih.
Selamat atas bea siswa yang kau dapat

Bukan karena nilai uangnya
Bukan karena kau terus traktir Papa,
Mama dan kakak adikmu di Pizza Hut
Bukan Sayang …

Papa, Mama hanya senang saja melihat …
Kamu bangga dengan bea siswamu
Kamu bangga dengan prestasimu
Kamu bangga dengan raihanmu
Kamu bangga dengan pembuktianmu

Selamat ya Mbak Jas…
Semoga sayap yang kau tekuni dari sekarang
Akan membawamu terbang setinggi-tingginya kelak

Tuesday 29 March 2011

Mimpi Ular

Sudah tiga hari terakhir istri saya selalu membicarakan tentang ular. Tiga malam yang lalu, istri saya bermimpi didatangi oleh seekor ular. Dan ular adalah pertanda buruk katanya. Representasi sebuah kejadian yang tidak kita inginkan. Mulai dari situ istri saya jadi kuatir.

Saat saya temani dia masak didapur, saat duduk bersama dimeja makan, topik mimpi ular jadi selipan pembicaraan. Juga diranjang kami menjelang tidur, ular lagi-lagi jadi bahan omongan.
“apa yang akan terjadi?” katanya cemas. Saya tersenyum bilang tak bakal ada apa-apa, jangan terlalu kuatir nanti malah kejadian benar. Dia juga tersenyum dan tetap kuatir, dapat saya lihat dari wajahnya.

Tahu kalau saya bukan orang tepat diajak ngobrol tentang yang beginian, dia tak banyak mendesak, tak bakal saya seriusi tahayul ini. Kalau buat obrolan ringan ayo saja, tak mengapa.
Dan mimpi ular itu tetap jadi misteri untuk istri saya, pertanyaan yang menggantung pada pikirannya, hatinya serta perasaannya.

Saya tetap renyah saja menyikapinya, karena saya memang tak pernah meyakini hal-hal yang begitu itu, dari dulu, dari ketika bahkan saya belum mengenal begitu banyak logika-logika.

Seorang nenek yang kebetulan duduk bersama istri saya di sela menunggu anak-anak disekolah , menyarankan untuk berdoa saja, memohon Yang di atas agar hal buruk tidak benar-benar terjadi dan semua itu diceritakan kembali kepada saya dimeja makan malamnya.
Saya kembali tersenyum, istri saya protes, orang di ceritain kok cuma tersenyum saja, katanya.

Setelah empat harinya, mimpi ular sudah berkurang jadi selipan obrolan. Hanya kadang saja saat ada berita tetangga, koran atau TV, masihlah juga mimpi ular ini diselip-selipkan, dihubung-hubungkan dengan kondisi keluarga kami.

Dan buat saya, selipan cerita ular itu hanyalah bumbu peyedap pembicaraan mesra kami seperti hari-hari kemarin dan besok.

Saturday 5 February 2011

walk the talk

bagaimana bisa
seorang yang disetiap perbincangan
selalu menyelipkan kata
walk the talk
practice what you preach
sanggup dengan mudahnya mengingkari
apa yang sering dikatakannya itu

kelak dia akan menyadari
bahwa ungkapan
mulutmu harimaumu
akan juga
menelan dirinya sendiri