Ketika kecil saya pernah sangat bercita-cita untuk kelak menjadi
seorang guru. Dimata saya yang kanak-kanak dulu, profesi guru sungguh enak. Ketika
berbicara dan didengarkan oleh murid-murid sekelas, buat saya itu sungguh
menyenangkan.
Saat itu saya belum paham benar makna kata mulia untuk profesi seorang
guru. Hanya perasaan enak saja, karena merasa punya kuasa atas murid yang di ajar.
Kelak setelah dewasa saya menyadari makna kata mulia disini adalah bahwa kita bukanlah kita yang
sekarang ini tanpa peranan guru kita dahulu.
Sepanjang kenangan saya belajar disekolah, ada satu guru yang
buat saya sungguh meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Seorang perempuan yang pernah menjadi wali kelas saya di SD. Beliau begitu saya kagumi karena sikap-sikapnya yang lemah lembut dan keibuan.
Namanya Bu Guru Sudarwati. Keturunan Jawa,
parasnya manis, rambutnya sebahu, berkulit agak coklat dan selalu menggunakan
pakaian rok terusan saat mengajar. Cara beliau saat berbicara dengan siswanya
sungguh lembut, amat kenes khas Jawa. Tidak pernah seingat saya beliau
berbicara dengan nada yang tinggi. Selalu saja datar, luwes dengan intonasi baik.
Kekaguman saya terhadap Bu Guru Sudarwati bukanlah mengenai materi
pelajaran yang beliau ajarkan. Namun lebih kepada bagaimana beliau bersikap, pada
senyumnya yang selalu mengembang, pada caranya merangkul anak didiknya dan pada cara
beliau berbicara yang sungguh amat mengesankan, sangat lah mirip dengan Mbah Putri saya di
Purworejo yang juga adalah idola saya.
Saat beliau melahirkan anak pertamanya, saya bersama beberapa
teman sekelas berkunjung sore-sore kerumah Bu Guru Sudarwati. Kami bertemu
dengan suami Bu Guru Sudarwati yang menurut saya sungguh mirip dengan
pebulutangkis Liem Swie King. Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Suami Bu Guru
Sudarwati juga sangat ramah. Beliau menyambut kami serombongan dengan banyak senyum.
Dan kebetulan sekali saat itu suami Bu Guru Sudarwati bercelana pendek ala
pemain bulu tangkis juga, jadi klop lah dengan penampakan Liem Swie King.
Rumah Bu Guru Sudarwati adalah rumah kontrakan sepetak, berdinding
geribik (anyaman bambu) dengan kamar mandi yang terpisah dari rumah. Didalam rumah
yang hanya satu kamar itu, bersatu semua barang-barang milik keluarga Bu Guru
Sudarwati. Disitu ada tempat tidur berkelambu, lemari kecil, kompor, panci,
ember dan lain-lain. Lantainya tanah, jadi kami semua tetap bersandalan saat
didalam rumah Bu Guru Sudarwati.
Bu Guru Sudarwati hanya 1 tahun menjadi wali kelas saya di SD. Namun
kenangan atas pribadi beliau yang baik itu meninggalkan banyak kesan mendalam
pada saya. Mengalahkan banyak guru SD saya yang lain yang pernah juga menjadi
guru dan wali kelas saya.
Cerita itu semua terjadi sekira 37-38 tahun yang lalu. Selepas saya
SD saya tak pernah berjumpa lagi dengan Bu Guru Sudarwati. Dari beberapa teman
saya, ada saya dengar juga bahwa beliau masih terus mengajar di sekolah yang sama.
Kalau saat dulu sekolah usia saya 10 tahun dan usia Bu Guru
Sudarwati katakanlah 20 tahun, itu artinya usia Bu Guru Sudarwati saat ini
sudah 58 tahun. Sangat mungkin saat ini beliau sudah sudah pensiun dari mengajar dan sedang
menikmati perannya sebagai seorang Nenek, anak dari bayi yang 38 tahun yang
lalu saya kunjungi kelahirannya di Rumah Bu Guru Sudarwati.
Cikupa, 19 Juni 2018